Jumat, 25 Mei 2012


BAB V
ANTROPOLOGI
A.    PENGERTIAN ILMU ANTROPOLOGI
Seperti telah dikemukakan terdahulu, kehidupan manusia di masyarakat atau manusia dalam konteks sosialnya, meliputi berbagai aspek. Salah satu aspek yang bermakna dalam kehidupan manusia yang juga mencirikan kemajuannya yaitu kebudayaan. Bidang ilmu sosial yang mengkhususkan telaahannnya kepada kebudayaan itu tidak lain adalah Antropologi.
Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa. Terbentuklah ilmu antropologi dengan melalui beberapa fase. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya. Para ahli mendefinisikan antropologi sebagai berikut :
1. Koentjaraningrat
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
2. William A. Haviland
Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
3. David Hunter
Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.
4.  E. A. Hoebel                                                                                                                    Antropologi adalah suatu studi tentang manusia dan kerjanya.
5. R. Benedict (1955 yang dikutip oleh Harsojo 1982:13) menjelaskan Antropologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari umat manusia sebagai makhluk masyarakat.
B.     FASE-FASE PERKEMBANGAN ILMU ANTROPOLOGI
1.   Fase pertama(Sebelum 1800)
Dengan kedatangan orang Eropa di benua Afrika, Asia, dan Amerika selama sekitar 4 abad sejak akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, suku-suku bangsa penduduk pribumi berbagai daerah di muka bumi mulai mendapat pengaruh negara-negara Eropa barat. Bersamaan dengan itu terbit berbagai macam tulisan hasil buah tangan para musafir, pelaut, pendeta,pegawai agama nasrani, penerjemah Kitab Injil, maupun para pegawai pemerintah jajahan, berupa buku-buku kisah perjalanan, laporan, dan lain-lain, yang jumlahnya sangat banyak. Dalam buku-buku tersebut kita dapat menjumpai sangat banyak bahan pengetahuan berupa deskripsi tentang adat istiadat,  susunan masyarakat, bahasa, dan ciri-ciri fisik serta beraneka warna suku bangsa di Afrika, Asia, Oseania, maupun berbagai suku bangsa Indian, penduduk pribumi benua Amerika. Karena sangat berbeda dengan keadaannya di Eropa, maka bahan deskripsi yang disebut “etnografi” (etmos berarti bangsa) itu sangat menarik bagi orang Eropa pada waktu itu.namun demikian pelukisan-pelukisan yang dibuat pada zaman itu pada umumnya bersifat kabur dan tidak teliti.
  Di kalangan kaum terpelajar di Eropa Barat kemudian timbul 3 sikap yang bertentangan terhadap orang-orang Afrika, Asia, Oseania, dan Indian tersebut, yaitu: Anggapan bahwa orang-orang tersebut sebenarnya bukan manusia sungguh-sungguh, melainkan iblis, dan lain-lain, sehingga tibul istilah-istilah savage dan primitive yang mengacu kepada bangsa-bangsa pribumi itu.
Pandangan bahwa masyarakat-masyarakat pribumi tersebut merupakan contoh-contoh masyarakat yang masih murni, yang belum mengenal kejahatan seperti yang ada dalam masyarakat bangsa-bangsa Eropa Barat pada waktu itu.
Pandangan bahwa “keanehan” bangsa-bangsa pribumi itu (adat-istiadatnya, maupun benda-benda kebudayaannya) dapat dimanfaatkan untuk dipercontohkan kepada khalayak ramai di Eropa Barat, sehingga timbul museum-museum yang menggelar benda-benda kebudayaan berbagai bangsa di luar Eropa.
Pada awal abad ke-19 perhatian para ilmuan Eropa terhadap pengetahuan tentang masyarakat, adat-istiadat, serta ciri-ciri fisik bangsa-bangsa pribumi “asing” itu sangat besar, sehingga ada upya untukmengintregasikan semua bahan pengetahuan etnografi yang ada menjadi satu.
2.   Fase Kedua (kira-kira pertengahan abad ke-19)
Intregasi yang sungguh-sungguh baru terlaksana pada pertengahan abad ke-19, dengan terbitnya karangan-karangan yang bahannya tersusun berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat, yaitu: Masyarakat dan kebudayaan manusia telah berevolusi sangat lambat, yakni selama beberapa ribu tahun, dari tingkat-tingkat yang rendah, dan melalui beberapa tingkat antara sampai pada tingkat-tingkat yang tertinggi. Bentuk dari masyarakat dan kebudayaan manusia dari tingkat yang paling tinggi itu adalah seperti bentuk masyarakat dan kebudayaan bangsa-bangsa Eropa Barat pada waktu itu. Selain masyarakat dan kebudayaan bangsa-bangsa Eropa, semuanya mereka anggap primitif dan lebih rendah, dan merupakan sisa kebudayaan manusia purba. Berdasarkan cara berpikir itulah semua bangsa didunia digolongkan menurut berbagai tingkat evolusi. Ketika sekitar tahun 1860 ada beberapa karangan yang mengklasifikasikan bahan-bahan  mengenai berbagai kebudayaan di dunia dalam berbagai tingkat evolusi, lahirlah antropologi.
Fase berikutnya terjadi dengan terbitnya karangan-karangan hasil penelitian mengenai sejarah penyebaran kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa yang juga masih dianggap sebagai sisa-sisa kebudayaan kuno. Dengan penelitian seperti orang berharap memperoleh pengetahuan dengan pengertian tentang sejarah penyebaran kebudayaan manusia. Dengan demikian kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam fase kedua dari perkembangan antropologi, ilmu itu bersifat akademis,yang artinya mempunyai tujuan yang secara langsung bersifat praktis, dan hanya dilakukan dalam karangan para sarjana di universitas(akademi). Dan tujuannya adalah sebagai berikut : mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud mendapatkan pengertian mengenai tingkat-tingkat kuno dalam sejarah evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan manusia di muka bumi.
3.   Fase ketiga (awal abad ke-20)
Pada awal abad ke-20, sebagian besar negara penjajah di Eropa berhasil memantapkan kekuasaannya di daerah-daerah jajahan mereka. Sebgai ilmu yang mempelajari bangsa-bangsa bukan Eropa, antropologi menjadi kian penting bagi bangsa-bangsa eropa dalam menghadapi bangsa-bangsa yang mereka jajah. Disamping itu mulai ada anggapan bahwa mempelajari bangsa-bangsa bukan Eropa itu makin penting karena masyarakat bangsa-bangsa itu pada umumnya belum sekompleks bangsa-bangsa Eropa, dan pengertian mengenai masyarakat yang tidak kompleks dapat menambah pengertian tentang masyarakat yang kompleks.
Ilmu itu terutama berkembang di suatu negara yang paling luas jajahannya, yaitu Inggris, tetapi juga hampir semua negara kolonial lainnya. Amerika Serikat yang bukan negara kolonial, tetapi yang telah mengalami berbagai masalah dengan penduduk pribuminya, yaitu suku-suku bangsa Indian, kemudian juga terpengaruh oleh ilmu yang baru itu.
Dalam fase ketiga ini antropologi menjadi suatu ilmu yang praktis, yang tujuannya adalah mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa guna kepentingan pemerintah kolonial dan guna mendapat pengertian tentang masyarakat modern yang bersifat kompleks.
4.   Fase keempat (sesudah kira-kira 1930)
Dalam fase ini antropologi berkembang sangat luas, baik dalam hal ketelitian bahan pengetahuannya maupun ketajaman metode-metode ilmiahnya. Di samping itu, ketidak senangan terhadap kolonialisme dan gejala makin berkurangnya bangsa-bangsa primitif (yakni bangsa-bangsa asli yang terkucil dari pengaruh kebudayaan Eropa-Amerika) setelah Perang Dunia II, menyebabkan bahwa antropologi kemudian seakan-akan kehilangan lapangan, dan terdorong untuk mengembangkan lapangan-lapangan penelitian dengan pokok dan tujuan yang berbeda. Warisan dari fase-fase perkembangannya yang semula (fase pertama, kedua, dan ketiga), yang berupa bahan etnografi serta berbagai metode ilmiah, tentu tidak dibuan demikian saja, tetapi Perkembangan itu terutama terjadi di universitas-universitas Amerika Serikat, dan setelah tahun 1951 menjadi umum di negara Amerika Eropa (termasuk tokoh-tokoh dari Uni Soviet pada waktu itu) mengadakan simposium internasional guna meninjau serta merumuskan pokok tujuan maupun ruang lingkup antropologi.
Pokok atau sasaran penelitian para ahli antropologi sudah sejak tahun 1930 bukan lagi suku-suku bangsa primitif bukan Eropa lagi, melainkan telah beralih kepada penduduk pedesaan pada umumnya, baik mengenai keanekaragaman fisiknya, masyarakatnya Eropa dan Amerika (misalnya suku-suku bangsa Scami, Flam, Lapp, Albania, dan Irlandia di Eropa, serta masyarakat Middletown dan Jonesville di Amerika) menjadi sasaran penelitian mereka.
Antropologigaya baru ini dalam fase perkembangannya yang keempat ini mempunyai dua tujuan, yaitu (1) tujuan akademis dan (2) tujuan praktis. Tujuan akademisnya adalah untuk mencapai pengertian tentang makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari berbagai bentuk fisiknya, masyarakatnya, maupun kebudayaannya. Karena dalam kenyataan antropologi umumnya mempelajari masyarakat suku bangsa, maka tujuan praktisnya adalah mempelajari manusi dalam beragam masyarakat suku bangsa guna membangun masyarakat suku bangsa tersebut.
C.    ILMU-ILMU BAGIAN DARI ANTROPOLOGI
Cikal bakal Antropologi yang dimulai dengan etnografi dalam seluruh sejarah perkembangannya dari waktu ke waktu melahirkan aneka cabang ilmu/disiplin ilmu seperti yang dapat dilihat pada bagian ilmu-ilmu bagian antropologi berikut ini serta uraian pengertian ilmu-ilmu bagian itu.
1.   Paleo-Antropologi
  Paleo – antropologi adalah salah satu cabang ilmu Antropology yang mempeajari tentang munculnnya manusia dan perkambangannya dengan mengkaji fosil – fosil yang ditemukan dalam lapisan tanah. Penemuan dan analisis fosil sangat membantu mengungkap misteri kira – kira kapan manusia primitive / prasejarah mulai bias berdiri tegak / sikap tegak, tangan yang mudah digerakkan dan otak yang lebih besar. Untuk menunjang keakuratan analisa, para Antropolog jugamemerlukan informasi yang berkenaan dengan kondisi geologis seperti pergantian, jenis tanam, jenis binatang, lingkungan.
  Di beberapa tempat yang pernah ditemukan fosil mahkluk hidup purba, menunjukkan bahwa mahkluk purba / manusia primitive pernah hidup ribuan bahkan jutaan tahun yang lalu. Penyebutan manusia primitive tersebut biasanya diikuti dengan nama ditemukanny fosil tersebut. Misalnya:
a.    Zinjantropus ( fosil tengkorak manusia Afrika berusia 1.750.000 tahun )
b.   Pithecantrophus Mojokerto/ jawa ( berusia kira – kira 670.000 tahun )
c.    Pithecantrophus Trinil / jawa ( berusia kira – kira 600.000 tahun )
d.   Sinanthropus Pakinensis (fosil manusia Peking / Cina  berusia kira – kira 550.000 tahun )
e.    Manusi Wajak/ jawa ( kira –kira berusia 210.000 tahun)
Berdasarkan penelusuran para antropolog, diperkirakan kehadiran mahkluk manusia bermula sejak 44.000 tahun lalu dan manusia modern ( homo sapiens ) muncul sekitar 11.000 tahun yang lalu.
  Teori yanf sangat berpengaruh pada kajian ini adalah teori evolusi Charles Darwin yang dituangkan dalam buku On the Origin of Species by Means of Natural Selection ( 1859 ). Teori evolusi juga dijadikan rujukan dalam membahas proses – proses evolusi social sampai paruh kedua abad ke – 19. Kelompok Evolusionisme beranggapan bahwa seluruh organisme hidup mengalami proses evolusi dari yang sangat sederhana menigkat ke yang lebih kompleks. Salah satu pendukung kuat pemikiran Darwin adalah Herbert Spencer dengan aliran pemikiran Darwinisme social. Sapncer berpendapat bahwa masyarakat berkembang mengikuti cara yang sama seperti yang dilalui oleh spesies hewan dari segi adaptasi lingkunnya, yaitu melaui persaingansesama spesies sehingga tinggal yang terunggul dan terkuat saja ( survival of the fittest ).
  Selain Spencer, Lewis Henry Morgan yang menulis buku Ancient Society ( 1877 ) juga termasuk pendukung evolus social. Tahap perkembangan masyarakat yang dikemukakan Morgan merupakan salah satu teori evolusi social yang berpengaruh pada abad ke – 19. Di dalam bukunya, Morgan menjelaskan tiga tahap utam evolusi / perkembangan masyarakat. Yaitu  savagery, barbarism, civilization. Pada tahap Savagery (liar buas), manusia hidup denga berburu dan meramu.pada tahap barbarism (liar buas) manusia mulai mengenal bercocok tanam dan berternak hewan. Sementara masyarakat yang berperadapan sudah ditandai dengan system penulisan mampu membentuk system pemerintahan kerajaan atau state. Untuk lebih jelasnya tahapa kebudayaan menurut Morgan dapat dilihat pada table berikut ini.
Table 1. Tahapan Kebudayaan
Periode
Tahapan
Criteria
III.Peradapan ( civilization )

Sejak ditemukannya aksara sampai sekarang
II. Barbar ( barbarism )
3. Barbar atas
Sejak kelahiran melebur besi dan mengunakan besi sebagai alat

2. Barbar Madya
Mulai berternak binatang dan mengenal pertanian denga irigasi

1. Barbar Bawah
Sejak dikenalnya pembuatan tembikar
I.       Liar (Savagery )
3. Liar Atas
Sejak ditemukan panah dan busur

2. Liar Madya
Sejak menguasai cara menangkap ikan dan membuat api.

1. Liar Bawah
Sejak awal munculnya ras mahkluk manusia sampai denga periode berikutnya
Sumber: Lewis Morgan. Ancient Society, Chicago,Charkes H.Kur& Comny,1877:19
2.   Antropologi ragawi (fisik)
Mempelajari sejarah perkembangan dan penyebaran berbagai kebudayaan manusia di bumi dalam zaman sebelum manusia mengenal huruf (tulisan), dalam arti khusus mempelajari sejarah terjadinya dan perkembangan aneka warna makhluk hidup manusia ditinjau dari sudut ciri-ciri tubuh, baik yang lahiriah (seperti warna kulit, warna dan bentuk rambut, bentuk muka, warna mata, bentuk hidung, tinggi dan bentuk tubuh) maupun yang dalam (seperti frekuensi golongan darah dan sebagainya). Dengan cara itu manusia dapat dikelompokkan ke dalam berbagai golongan tertentu (yaitu ras) berdasarkan persamaan ciri-ciri tubuh tertentu yang terdapat pada sebagian besar individu. Paham mengenai berbagai ras itu dicapai dengan mengklasifikasikan beragam ciri tubuh manusia itu. Bagian dari antropologi ini seringkali disebut antropologi fisik dalam arti khusus, atau somatologi.
3.      Etnolinguistik
Etnolinguistik, yang juga disebut antropologi linguistik, adalah suatu ilmu bagian yang pada awalnya erat berkaitan dengan antropologi. Dari bahan penelitiannya yang berupa daftar kata-kata dan deskripsi tentang ciri dan tata bahasa dari beratus-ratus bahasa suku bangsa di berbagai tempat di muka bumi, maupun kebudayaan suku bangsa. Mempelajari linguistik ratusan bahasa suku bangsa yang tersebar di berbagai tempat muka bumi ini. Antara lain dengan meneliti kosakata, melukiskan ciri bahasa dan tata bahasa serta menggunakan berbagai metode untuk menganalisis dan mencatat bahasa-bahasa yang tidak mengenal tulisan.
4.   Etnologi
Etnologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan suku-suku bangsa. Etnologi mempelajari pola-pola kelakuan seperti adat-istiadat, perkawinan, system mata pencaharian hidup, system politik, agama, struktur kekerabatan, cerita-cerita rakyat, kesenian music dan bagaimana perbedaan-perbedaan di antara pola-pola itu dalam berbagai masyarakat dan kebudayaan masa kini. Etnologi juga mempelajari dinamika kebudayaan yang berlangsung dalam masyarakat. Para etnolog dalam mengumpulkan informasi tentang kebudayaan suku-suku bangsa yang di telitinya harus melakukan penelitian lapangan. Selain itu etnolog bisa juga mengumpulkan hasil hasil penelitian suku bangsa dalam bentuk etnografi (gambaran kehidupan suku-bangsa).
              Etnologi juga mempelajari asas-asas dari kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat dari sebanyak mungkin suku bangsa yang tersebar di seluruh muka bumi masa kini. Akhir-akhir ini dalam sub-ilmu etnologi berkembang 2 golongan penelitian, yaitu golongan yang memberi perhatian khusus pada bidang diakronik (secara berurutan) dan golongan yang lebih memperhatikan bidang sinkronik(pada saat bersamaan) dari kebudayaan manusia.
5.      Etnipsikologi (Antropologi Psikologi)
Pada awal kelahirannya memperhatikan tiga masalah  yakni kepribadian bangsa, peranan individu dalam proses perubahan adat istiadat, dan nilai universal dari konsep-konsep psikologi. Penelitian antropologi ini menggunakan banyak konsep psikologi dalam analisisnya.
6.   Antropologi Spesialisasi  (terapan)
  Pada perkembangan berikutnya antropologi mempunyai spesialisasi kajian, seperti antropologi ekonomi, antropolgi politik, antropologi agama, antropologi kesehatan, antropologi pendidikan, antropologi perkotaan, antropologi pedesaan, antropologi lingkungan. Akhirnya, menurut sebagian antropolog amerika, terdapat bidang antropologi terapan. Akan tetapi, sebagian besar antropolog masa kini berpendapat bahwa antropologi terapan bukanlah bidang tersendiri, karena setiap bidang kajian dalam antropologi memiliki aspek-aspek terapan sendiri-sendiri (saifudin, 2005:22).
            Antropologi terapan berusaha untuk mengaplikasikan temuan-temuan antropolog dalam pemecahan masalah yang di hadapi manusia. Antropologi terapan ini mulai popular sejak zaman kolonialisasi oleh Negara-negara eropa barat. Sebelum melakukan penjajahan, Negara colonial telah mempelajari terlebih dahulu adat istiadat, hokum, system religi dan norma-norma yang berlaku di Negara yang akan di jajah.
Pada perkembanganya antropologi terapan di pergunakan untuk kepentingan pembengunan dan kepentingan kemanusiaan. Kepentingan pembangunan misalnya untuk melakukan perubahan masyarakat terasing menuju pada kehidupan yang lebih maju. Antropologi terapan untuk kepentingan kemanusiaan biasanya dilakukan oleh antropolog yang bergabung dalam badan-badan dunia untuk mengurusi masyarakat korban bencana alam, dan konflik social.
  Ilmu-ilmu bagian antropologi yang mengkhususkan diri mempelajari berbagai masalah praktis dalam masyarakat dan hasil-hasilnya dapat lebih langsung diterapkan untuk memcahkan maslah-masalah itu. Dalam perkembangan antropologi spesialisasi (terapan) ini lahirlah berbagai ilmu bagian seperti antropologi ekonomi, antropologi politik, antropologi kependudukan, antropologi kesehatan jiwa, antropologi pendidikan, dan antropologi perkotaan.
7.   Somatologi
Somatology berbicara tentang variasi diantara mahkluk manusia, bagaimana dan apa sebabnya mahkluk manusia memiliki ciri – ciri khas fisik yang bervariasi. Pertanyaan – pertanyaan, mengapa ada manusia yang tubuhnya lebih tingi dari manusia lainnya? Mengapa ada kelompok berwarna kulit hitam, kulit merah, kulit putih, dan kulit coklat? Mengapa terdapat kelompok manusia yang memiliki jenis rambut hitam lurus, hitam keriting, merah ikal dsb? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, para antropolog fisik menerapkan prinsip – prinsip,teknikmdan konsep – konsepdari ilmu genetika manusia, biologi kependudukan, dan epidemiologi. Ilmu genetika manusia berbicara tentang bagaimana terjadinya pewarian ciri biologis pada manusia. Biologi kependudukan merupakan ilmu yang mempelajari efek – efek lingkungan pada bangsa – bangsa dan interasinyadengan ciri –ciri khas suatu bangsa. Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari bagaimana dan apa sebabnya penyakit – penyakit berlainan efeknya pada bangsa yang berbeda?( Ember dalam Ihroni, 2000:6 )
  Perbedaan fisik manusia di muka bumi ini, jika ditelusuri dari asal – usulnya berasal dari anak keturunan Nabi Nuh sebagai salah satu keturunan Nabi Adam. Tiga anak Nabi Nuh, Yaitu Ham, Yafit dan Sam yang tersebar di beberapa tempat akhirnya melairkan keturunan dengan ciri – ciri fisik yang berbeda. Ham berpindah ke Afrika yang kemudian melahirkan keturunan Negro kulit hitam (ras Negroid. Yafit berpindah di Eropa yang kemudian memiliki keturunan bangsa kulit putih ( ras Kaukasoid ). Sementara San tinggal di Asia yang menurunkan bangsa kulit kuning langsat ( ras Mongoloid ).
8.   Antropologi Budaya/ Sosial
Antrhopologi budaya/social ( isitilah Antropologi Budaya lebih popular di daratan Amerika, sedangkan Antropologi Sosial di populerkan di Inggris dan sekitarnya ) meliputi Arkeologi / Pre – Histori, Etnologi,. Arkeologi atau  Pre – histori merupakan salah satu cabang  Antropologi budaya yang mempelajari kehidupan masayarakat pra – sejarah. Istilah pra – sejarah di kenakan pada tahap kehidupan masyarakat yang b elum mengenal tulisan. Kegiatan arkeolog tidak hanya merekonstruksi cara hidup dari masyarakat pra – sejarah, tetapi juga menelususir perubahan kebudayaan dan sebab – sebab terjadinya perubahan. Menurut Ember ( dalam Ihromi. 2000:8) arkeolog memusatkan diri pada dua hal penting. Pertama, menetapkan tahap – tahap perkembangan kebudayaan ( bagaimana cara – cara hidup berubah ) di berbagai belahan dunia. Kedua, memahami apa sebabnya perubahan – perubahan tertentu terjadi, kapan dan dimana itu terjadi:
Bahan kajian Arkeologi/ Pre – Histori adalah semua artefak/ material culture/ benda – benda sejarah yang di temukan pada lapisan tanah atau di atas tanah. Benda – benda tersebut bias berupa batu kapak, tulang yang diruncingkan/ dipipihkan, wadah dari tembikar, benda keramik, alat- alat dari tembaga, batuan bertulis, dsb. Sebagai contoh penemuan batuan bertulis dapat mengungkapkan persebaran sebuah bahasa ( kapan, dimana, budaya apa yang mempegaruhi ). Beberapa batuan bertulis ( prasasti ) penting yang kemudian dapat mengungkapkan sejarah perkembangan bahasa Melayu, diantaranya adalaha (1) batu bertulis Kedukan Bukit di Palembang 605 Tahun Saka (683 M); (2) batu bertulis Talang Tuwo di Palembang 606 Tahun Saka ( 684 M ); (3) batu Bertulis Kota Kapur di Bangka 608 Tahun Saka ( 686 M );(4) batu bertulis Karang Brahi di Jambi 614 Tahun Saka (692 M ). Melaui temuan batuan bertulis.
Cabang-cabang ilmu antropologi secara ringkas dapat dilihat pada table berikut ini:
Table 1. cabang ilmu antropologi
Cabang
Sub-cabang
Antropolgi fisik
Paleo antropologi
somatologi
Antropologi budaya
Pre-histori?arkeologi
Etnolinguistik
Etnologi
Etnopsikologi
etnomusikologi
Antropologi
Spesialisasi/khusus
Anthropology Ekonomi
Anthropology Politik
Anthropology Agama
Anthropology Pendidikan
Anthropology Kesehatan
Anthropology Perkotaan
Anthropology perdesaan
Anthropology Lingkungan

Hidup
Anthropology Hukum
Anthropology Pembangunan

Antropologi Terapan


  Antropologi sebagai sebuah ilmu, bukan satu-satunya ilmu yang mempelajari manusia, masyarakat dan kebudayaanya.  Sosiologi, politik, Ekonomi merupakan beberapa contoh ilmu yang juga mempelajari manusia dan masyarakat. Perbedaan antara ilmu yang satu dengan yang lainya terletak pada cara pandang (perspektif) atas gejala social yang bukan di kajinya. Perspektif merupakan penekanan aspek tertentu dan menjadikan aspek-aspek lain sebagai lingkungan yang mendukungnya. Menurut saifuddin (2005: 23) terdapat tiga perspektif besar dalam antropologi :
1.   Perspektif yang menekankan pada analisis masyarakat dan kebudayaan
2.   Perspektif yang menekankan factor waktu, yang terdiri dari proses histories dari masa lampau dan masa hingga kini(diakronik), masa kini (singkronik), masa kini (singkronik), dan interaksi antara masa lampau dan masa kini (interaksionis)
3.   Perspektif konstelasi teori-teori dan berbagai kemungkinan keterkaitan serta relavansi satu sama lain. Perspektif teoritis tersebut dapat dilihat pada table berikut ini (alan barnard dalam saifuddin, 2005:26)
Table 3. perspektif teoritis antropologi

Perspektif
teoritis
Perspektif diakronik
Evolusionime, difusionime, marxisme, (dalam batas tertentu), pendekatan daerah kebudayaan (dalam batas tertentu)
Perspektif sinkronik
Relativisme (termasuk kebudayaan dan kepribadian), strukturalisme, strukturalisme-fungsionalisme, pendekatan kognitif, pendekatan daerah kebudayaan (kebanyakan), fungsionalisme (dalam batas tertentu), interpretivisme (dalam batas tertentu)
Perspektif interaktif
Transaksionalisme, prosesualisme, feminisme, post-strukturalisme, posmodernisme, hungslonalisme (dalam batas tertentu), interpretivisme (dalam batas tertentu), marxisme (dalam batas tertentu)
D.    KONSEP DASAR ILMU ANTROPOLOGI DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
Konsep-konsep dasar antropologi yang melekat pada masyarakat meliputi kebudayaan, Tradisi , Pengetahuan, Ilmu, Teknologi, Norma, Lembaga, Seni, Bahasa serta Lambang.
1.   Kebudayaan
  Kebudayaan, akar katanya dari kata buddayah, bentuk jamak dan buddhi yang berarti  budi atau  akal (Koentjaraningrat: 1990:9)  Soejono Soekanto: 1990:188). Kata  buddhayah  dan atau  buddhi itu berasal dan Bahasa  Sanskerta. Istilah kebudayaan atau culture (bahasa inggris) berasal dari kata colere (kata kerja bahsa latin) yang berarti bercocok tranam (cultivation). Cultivation atau kultivasi yang berarti pemeliharaan ternak, hasil bumi, dan upacara-upacara religious yang darinya di turunkan istilah kultus atau “cult” (mudji sutrisno dan hendar putranto, 2005:7). Dalam bahasa Indonesia kebudayaan berasal dari kata buddayah (bahasa sansekerta), yaitu bentuk jamak dari kata buddhi (budi atau akal). Kata budaya juga di tafsirkan merupakan perkembangan dari kata mejemuk budi-daya yang berarti  daya dari budi, yaitu berupa cipta, karsa dan rasa. Menurut Raymond Williams, kata “kebudayaan” (culture) merupakan salah satu dari dua atau tiga kata yang paling kompleks penggunaanya dalam bahasa inggris.
 Dengan demikian,  kebudayaan itu dapat diartikan  sebagai “hal-hal yang berhubungan dengan budi dan atau akal”. Mengenai kebudayaan ini, Anda dapat menyimak beberapa konsep dari beberapa pakar di bidang ini, antara lain  C.A. Eliwood (Fairchild, H.P., dkk.: 1982:80) mengungkapkan: 
“Kebudayaan adalah  nama kolektif semua pola perilaku ditransparansikan secara sosial melalui simbol-simbol; dan sini tiap unsur semua kemampuan kelompok umat manusia yang karakteristik, yang tidak hanya meliputi bahasa, peralatan, industri, seni, ilmu, hukum, pemerintahan, moral, dan keyakinan kepercayaan saja, melainkan meliputi juga peralatan material atau artefak yang merupakan penjelmaan kemampuan budaya yang
menghasilkan pemikiran yang berefek praktis dalam bentuk bangunan, senjata, mesin, media komunikasi, perlengkapan seni, dan sebagainya. Pengertian kebudayaan secara ilmiah  berbeda dengan pengertian konotatif sehari-hari. Hal tersebut meliputi semua yang dipelajari melalui sambung rasa atau komunikasi timbal arah. Hal itu meliputi semua bahasa, tradisi, kebiasaan, dan kelembagaan. Tidak ada kelompok umat manusia yang memiliki maupun yang tidak memiliki bahasa, tradisi, kebiasaan, dan kelembagaan-kebudayaan itu sifatnya universal yang merupakan ciri yang berkarakteristik masyarakat manusia. “
  Konsep yang dikemukakan oleh Eliwood di atas sangat jelas dan gamblang bahwa kebudayaan itu hanya menjadi milik otentik manusia.Di antara ilmu-ilmu social yang ada, barang kali antropologi merupakan ilmu yang paling sering dan paling banyak menggunakan kata kebudayaan atau budaya dalam kajianya. Hal ini tidak terlepas dari tradisi penelitian antropologi yang berbasiskan kebudayaan. Sampai sejauh ini, para antropolog memiliki definisi yang berbeda-beda tentang kebudayaan. Berdasarkan literature yang ada, definisi kebudayyan yang di hasilkan antropolog sudah mencapai lebih dari 170 definisi. Namun demikian, antropologi tidak memiliki hal eklusif untuk melakuakn klain atas istilah kebudayaan.
2.   Tradisi
Selanjutnya, mengenai tradisi  tidak lain adalah kebiasaan-kebiasaan yang terpolakan secara budaya di masyarakat. Kebiasaan yang dikonsepkan sebagai tradisi ini, karena telah berlangsung turun- temurun, sukar untuk terlepas dari masyarakat.
Namun demikian, karena pengaruh  komunikasi dan informasi yang terus-menerus melanda kehidupan masyarakat, tradisi tadi mengalami pergeseran. Paling tidak fungsinya berubah bila dibandingkan dengan maksud semula dalam konteks budaya masa lampau. Tata upacara tertentu di  masyarakat yang semula bernilai ritual kepercayaan, pada saat ini tata upacara itu  masih dilakukan, namun nilainya tidak lagi sebagai suatu bentuk ritual, melainkan  hanya dalam upaya untuk mempertahankan silaturrahmi, bahkan hanya sebagai hiburan. Jika tradisi melekat pada kehidupan dan alam pikiran masyarakat, paling tidak dalam kelompok maka kebiasaan, lebih melekat pada orang per orang sebagai anggota masyarakat, dan tingkat bobotnya juga lebih rendah daripada bobot tradisi.
Kebiasaannya keberlakuannya lebih terbatas bila dibandingkan dengan tradisi. Tegur-sapa, mengetuk pintu kalau bertamu, mendahulukan orang tua atau yang  dituakan, berpakaian rapi jika mengunjungi orang yang dihormati, dan lain-lain sebangsanya, hal itu merupakan kebiasaan. Namun pulang mudik pada hari lebaran atau tahun baru, sampai saat ini masih menjadi tradisi untuk kelompok masyarakat tertentu. Kita belum mengetahui apakah di tahun-tahun mendatang pulang mudik itu masih merupakan tradisi ataukah bergeser hanya menjadi kebiasaan. Hal tersebut masih harus ditunggu dan diamati lebih jauh. 
3.   Iptek
Dalam lingkup antropologi dan kebudayaan, pengetahuan, ilmu dan teknologi merupakan konsep dasar yang terkait dengan budaya belajar. Tiga konsep dasar tersebut saat ini biasa dijadikan sebagai IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi). Penyatuan tiga konsep tersebut sangat beralasan, karena ketiganya sangat erat kaitannya satu sama lain. Jika pengetahuan merupakan kumulasi dari pengalaman dan hal-hal yang kita ketahui, sedangkan ilmu merupakan pengetahuan yang- telah tersistematisasikan (tersusun) yang berkarakter tertentu sesuai dengan objek yang dipelajari, ruang lingkup telaahannya, dan metode yang dikembangkan serta diterapkannya. Pengetahuan yang menjadi biang ilmu, sifatnya masih acak.
Adapun penerapan ilmu dalam kehidupan untuk memanfaatkan sumber daya bagi kepentingan manusia, itulah yang kita sebut teknologi. Kita yakin bahwa tiga konsep tersebut sangat erat kaitannya satu sama lain. Oleh karena itu pula kita sepakat untuk memadukannya menjadi IPTEK. Pada masyarakat yang bagaimanapun sederhananya, dan terpencil dari keramaian, IPTEK itu ada pada mereka. Namun kualitasnya pasti sangat berlainan dengan masyarakat yang telah maju. Dengan mengetahui kondisi tiap kelompok masyarakat termasuk tradisi, kebiasaan dan kemampuan IPTEK-nya, Anda dan kita semua akan mampu memahami dan menghargai keadaan masyarakat yang bagaimanapun dan di mana pun. Tidak justru sebaliknya Anda dan kita semua mencemoohkan mereka. Melalui IPS, Anda wajib membawa peserta didik ke arah yang saling mengerti dan saling menghargai sesama kelompok masyarakat dalam keadaan yang bagaimanapun serta di mana pun mereka adanya.
4.   Lembaga
Dalam kehidupan masyarakat dan bermasyarakat, keluarga merupakan lembaga yang memiliki fungsi majemuk. Ia menjadi lembaga ekonomi dalam menjamin kebutuhan pangan, sandang dan papan (rumah), ia juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan dalam meletakkan dasar pendidikan kepada anggotanya, ia juga menjadi lembaga peradilan dalam mempertahankan keseimbangan hak dan kewajiban di antara anggotanya, ia juga menjadi lembaga pemerintahan dalam menjaga kesejahteraan-ketentraman-keamanan seluruh anggotanya, dan demikian seterusnya. Oleh karena itu, keluarga dan lembaga merupakan konsep dasar yang bermakna pada studi antropologi. Dalam konteks budaya dan masyarakat, keluarga dan lembaga serta keluarga sebagai lembaga selalu menjadi perhatian.
5.   Norma
Konsep lain yang memegang peranan kunci dalam kehidupan masyarakat dan budaya adalah nilai serta norma. Nilai dengan norma erat sekali kaitannya, namun demikian, memiliki perbedaan yang mendasar. Dalam alam pikiran manusia sebagai anggota masyarakat melekat apa yang dikatakan baik dan buruk, sopan dengan tidak sopan, cocok dengan tidak cocok, tepat dan tidak tepat, salah dan benar, dan demikian seterusnya. Hal itu semua merupakan nilai yang mengatur, membatasi dan menjaga keserasian hidup bermasyarakat. Orang yang tidak sopan dengan orang tua, orang yang dituakan dan orang yang Lebih tua, dikatakan bahwa orang yang bersangkutan itu tidak tahu nilai. Dalam tindakan, perilaku dan perbuatan, seseorang selalu sesuai dengan tradisi, kebiasaan dan aturan-aturan yang berlaku. Orang tersebut dikatakan mengetahui nilai dan berpegang pada nilai yang berlaku. Sedangkan norma, Lebih mengarah pada ukuran dan aturan kehidupan yang berlaku di masyarakat.
Oleh karena itu, kita dapat menanyakan “Bagaimanakah norma yang berlaku dalam kelompok masyarakat di sini?” Mengajukan pertanyaan demikian, untuk menghindari diri melanggar norma yang berlaku. Menurut aturan (tidak tertulis ataupun tertulis) jika ingin bertanya mengacungkan tangan atau telunjuk lebih dahulu. Hal itu merupakan norma yang berlaku dalam suatu pertemuan atau juga dalam kelas. Pada waktu bertanya kita  berperilaku sopan. Kesopanan tersebut merupakan nilai dalam bertanya.
Pada tingkat dan taraf yang lebih tinggi kita juga mengenal pranata yang juga merupakan salah satu konsep dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan berbudaya. Dalam hal ini, kita juga harus membedakan antara pranata (institution) dengan  lembaga (institut). Untuk menyimak perbedaan tadi,  Prof. Dr. Koentjaraningrat  (1990: 165) memberikan penjelasan “Pranata  adalah  sistem norma atau aturan-aturan yang mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus, sedangkan lembaga atau institut adalah badan atau organisasi yang melaksanakan aktivitas itu”. Lebih tegasnya, Koentjaraningrat menemukan contoh-contoh sebagai berikut.
Lembaga, Institut, Organisasi
Pranata, Institution
Institut Teknologi Bandung
Institut Agama Islam
Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional
Penerbit Kompas, Yayasan Bentara Rakyat
Departemen HANKAM
PSSI
Pendidikan teknologi
Pendidikan Agama
Penelitian Masyarakat
Juenalistik
Keamanan Negara
Olahraga sepak bola
Selanjutnya,  Koentjaraningrat mencontohkan juga pranata yang. berfungsi  memenuhi keperluan kekerabatan, yaitu perkawinan, tolong-menolong, antar kerabat, sopan-santun, pergaulan antar kerabat dan sebangsanya. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan mata pencarian. yaitu pertanian, peternakan, industri, perdagangan, dan sebagainya.
6.   Bahasa
Bahasa sebagai suatu konsep dasar, memiliki pengertian konotatif yang luas. Bahasa sebagai suatu konsep, bukan hanya merupakan rangkaian kalimat tertulis ataupun lisan, melainkan pengertiannya itu lebih jauh daripada hanya sekadar rangkaian kalimat. Bahasa sebagai suatu konsep, meliputi pengertian sebagai bahasa anak, bahasa remaja, bahasa orang dewasa, bahasa orang awam, bahasa bisnis, bahasa isyarat, dan demikian seterusnya. Namun demikian, makna dan nilai bahasa sebagai suatu konsep terletak pada kedudukannya sebagai alat mengungkapkan perasaan, pikiran dan komunikasi dengan pihak atau orang lain. Bahasa merupakan alat untuk saling mengerti bagi berbagai pihak sehingga mampu mengembangkan hidup dan kehidupan ke tingkat atau taraf yang lebih sejahtera. Tidak justru menjadi alat untuk menyengsarakan masyarakat.
7.   Lambang
Pembahasan mengenai konsep dasar antropologi pada kesempatan ini kita akhiri dengan membicarakan lambang sebagai konsep dasar. Sesungguhnya, bahasa itu juga merupakan lambang bagi kita manusia. Betapa tidak, ingat saja ungkapan bahasa mencirikan bangsa. Pada ungkapan itu tercermin bahwa bahasa menjadi lambang bagi suatu bangsa. Hal tersebut dapat ditafsirkan bahwa bangsa yang bahasa dan tutur katanya baik, mencerminkan bahwa bangsa tersebut juga termasuk bangsa yang baik. Lambang-lambang selanjutnya, seperti bendera bagi suatu bangsa, tanda pangkat dan tanda jabatan bagi suatu angkatan, monumen bagi suatu kelompok masyarakat atau bangsa. Bendera bagi suatu bangsa, nilainya tidak hanya terletak pada secarik kain itu, melainkan terletak pada makna kesatuan bangsa, semangat perjuangan bangsa, dan lain-lain sebagainya. Demikian juga mengenai tanda pangkat dan tanda jabatan, nilainya itu tidak terletak pada terbuat dari apa tanda tersebut, melainkan melambangkan apa tanda tadi. Melambangkan kepemimpinan, kewibawaan, kehormatan atau penghargaan. Demikianlah makna lambang dalam kehidupan berbudaya dan bermasyarakat.
9.   Masyarakat dan Kebudayaan
  Suatu perspektif antropologi menurut minat luas para antropolog adalah minat mengenai masyarakat (sebagai satuan social) atau kebudayaan (sebagai perangkat gagasan, aturan-aturan, keyakinan-keyakinan, yang dimiliki bersama). Pengkhususan minat ini menjadi sedikit lebih rumit dari pada penyebutan “ antropologi social” (disiplin sebagai mana di praktikan di inggris dan beberapa lain) dan antropologi budaya(sebagai mana di praktikan di amerika utara) sebagai mana di utarakan antara lain oleh adam kuper (1988).
  Pada dasarnya, perhatian antropologi yang paling awal adalah mengenai cirri-ciri dan sifat-sifat masyarakat : bagaimana manusia berhubungan satu sama lain, dan bagaimana dan mengapa masyarakat berubah sepanjang waktu. Ketika perhatian diakronik banyak di kritik orang, perhatian orang beralih kepada bagaimana masyarakat di organisasi atau berfungsi. Fungsionalis, structural-fungsionalis, dan strukturalis berdebat satu sama lain apakah akan menenkankan pada hubungan antar individu, hubungan antar institusi social, atau hubungan antara kategori-kategori social yang di tempati oleh individu-individu tersebut. Namun, mereka umumnya sepakat mengenai perhatian mendasar pada social yang mengatasi budaya (kuper, 1988).
  Difusinisme adalah landasan pembentukan prinsip determinisme budaya. Difusionisme mencapai puncaknya dengan relativisme franzboas (bohannan dan glazer, 1988). Kemudian, interpretivisme dan postmodernisme pada masa belakangan ini bereaksi terhadap penekanan pada struktur social dan visi monolitik proses social yang dominan sebelumnya. Antropolog yang berorientasi kebudayaan (sekali lagi, tak persis sama dengan antropologi social dan antropologi budaya)  tampaknya berbicara dengan bahasa-bahasa yang berbeda, atau mempraktikan sepenuhnya disiplin yang berbeda (selanjutnya, lihat kuper 1988).
  Hanya sedikit perspektif yang menggabungkan kajian-kajian mengenai masyarakat dan kebudayaan (sebagai mana dikonsepsikan oleh kedua pihak ekstremis). Perhatian strukturalisme, secara khusus, berorientasi pada masyarakat (seperti aliansi karena perkawinan atau transisi antara status-status dalam kegiatan ritual) dan yang berorientasi pada kebudayaan (seperti aspek-aspek tertentu simbolisme). Feminism juga berorientasi pada masyarakat (hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam keteraturan social dan simbolik). Pendekatan daerah kebudayaan (culture area) atau regional adalah berasal dari tradisi social maupun kebudayaan, tetapi tampaknya tidak mudah untuk menggolongkan aneka ragam kebudayaan ke dalam  daerah-daerah kebudayaan, khususnya pada masa kini.
E.     HUBUNGAN ANTARA ANTROPOLOGI DENGAN SOSIOLOGI DAN ILMU-ILMU LAIN
Haviland (1988: 11) menyatakan antropologi bukan satu-satunya disiplin ilmu yang mempelajari manusia. Antropologi mempunyai tujuan sama dengan ilmu sosial lainnya dalam mengkai manusia dalam kehidupan masyarakat. Adanya perbedaan kesimpulan bagi masing-masing disiplin ilmu, mereka amat berterima kasih atas saham dan sumbangan konsep dasar yang diberikan untuk memahami sifat-sifat kemanusiaan. Sebab mereka memberi dasar yang luas dari prilaku manusia tanpa membatasi diri terhadap sesuatu aspek sosial atau biologis, maka ahli antropologi mempunyai kemampuan khusus untuk memperoleh pandangan yang luas tentang organisasi dan kultural yang disebut manusia.
Koentjaraningrat (1985: 26) menjelaskan adanya perbedaan pandangan itu disebabkan:
1.   Masing-masing disiplin ilmu itu mempunyai asal-mula dan sejarah perkembangan yang berbeda.
2.   Asal mula sejarah yang berbeda menyebabkan adanya susatu perbedaan khusus antara pokok dan bahan penelitian dari kedua ilmu tersebut.
3.   Asal usul dan sejarah perkembangan ilmu yang berbeda juga telah menyebabkan berkembangnya beberapa metode dan masalah  yang khusus bagi masing-masing disiplin ilmu.
Hubungan Antropologi dengan Ilmu-ilmu lain adalah sebagai berikut:
1.   Hubungan Antropologi Dengan Sosiologi
Antropologi pada mulanya sesuai dengan sejarah dan perkembangan antropologi yang menjadi objek studinya adalah masyarakat pedesaan (masyarakat primitif yang dilukiskan etnografi dalam perkembangan antropologi dalam fase I). Tetapi pada perkembangan antropologi tertama setelah fase IV khususnya  Amerika Serikat dan Inggris obyek studi antropoloi mulai memperhatikan masalah moderinaisisasi, pembangunan dan masyarakat kota, sehingga mulai timbul spesialisasi di bidang studi antropologi.
Sosiologi pada mulanya tergabung dalam obyek studi filsafat, akhirnya berkembang menjadi filsafat sosial. Kemudian stelah timbul krisis sosial de Eropa sebagai akibat pecahnya revolusi perancis dan revolusi induseri sebagai abad terang. Sosiologi mulai memisahkan diri dari filsafat dan menaruh perhatian terhadap masalah-masalah perubahan sosial budaya dalam masyarakat kota ( sebagai pusat industri), sehingga muncul perubahan-perubahan konsep dan teori-teori sosial. Tokoh-tokoh sosiolog yang terkenal seperti: Saint Simon (1760-1825) dan Agust Comte (1789-1857). Tetapi dalam penjelasan sejarah sosiologi pada abad XX mulai memperhatikan masyarakat desa, sebab kehidupan masyarakat kota sangat tergantung/ dipengaruhi masyarakat desa, maka kemudian muncul cabang Sosiologi Pedesaan.
Persamaan antara antropologi dengan sosiologi adalah sama-sama mempelajari masyarakat dan kebudayaan, bahkan untuk antropologi sosial sangat sulit dibedakan dengan sosiologi. Perbedaannya bila antropologi mempelajari segala aspek kehidupan masyarakat secara holistik, dan dalam penelitian mem-pergunakan metode kualitatif atau kuantitatif. Sedangkan sosiologi menitik beratkan kepada masalah jaringan hubungan sosial yang ada dalam masyarakat, terutama tentang Social grouping, social relation dan social processes. Metode penelitian yang dipergunakan adalah kuantitatif dengan analisis statistik sosial. Tetapi sekarang metode penelitian antropologi dan sosiologi saling mengisi, sehingga antara antropologi dan sosiologi sulit dipisahkan dan dibedakan (Koentjaraningrat, 1985: 27-30).
  1. Hubungan Antropologi dengan Geologi
Ilmu geologi mempelajari tentang bentuk ciri-ciri dan perubahan-perubahan lapisan bumi, sangat dibutuhkan oleh paleoantropologi dan prehistory untuk menetapkan umur relatif dari fosil-fosil makhluk primat dan manusia, artefak-artefak dan bekas-bekas kebudayaan yang ditemukan pada kedalaman lapisan bumi tertentu (Koentjaraningrat, 1985: 31-32).
  1. Hubungan Antara Antropologi dengan Ilmu Anatomi
Seorang ahli antropologi fisik dalam mempelajari ciri-ciri ras manusia untuk mendapatkan pengertian tentang asal-usul dan penyebaran manusia serta hubungan antara ras-ras di dunia, ia sangat memerlukan bantuan ilmu anatomi untuk mengetahui ciri-ciri tubuh, terutama berbagai organ tubuh manusia dari masing-masing rasnya (Koentjaraningrat, 1985: 32).
  1. Hubungan Antara Ilmu Linguistik dengan Antropologi
Linguistik memberi pengertian tentang ciri-ciri dasar bagi setiap bahasa didunia secara cepat dan mudah. Adanya tata bahasa, sastra dan sebagainya. Ini banyak membantu seseorang peneliti yang mengkaji penyebaran dan perkembangan bahasa suatu masyarakat daerah ((Koentjaraningrat, 1985: 33).
            Claude Levi Strause menjelaskan para antropolog berusaha untuk menggunakan pemahaman linguistik untuk memahami cara pikir manusia tentang dunia yang mereka diami (Coleman dan Watson, 2005: 10-11).
  1. Hubungan Antara Antropologi dengan Arkeologi
            Arkeologi sebagai ilmu yang mengkaji tentang sejarah perkembangan dan penyebaran kebudayaan masyarakat sebelum meninggalkan kebudayaan yang tertulis. Hal ini banyak membantu memberi penafsiran makna terhadap peninggalkan banda-benda budaya yang ditemukan dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 1985: 34-35). Sedangkan Coleman dan Watson (2005: 10) menjelaskan para arkeolog meneliti berbagai bentuk organisasi sosial dan budaya yang berbeda yang menjadi ciri khas manusia dari waktu ke waktu. Mereka memperoleh data dengan cara menggali situs-situs dari pemukiman manusia masa lampau dan dengan cermat mencatat obyek-obyek, pola-pola pemukiman dan jasad manusia (fosil0 yang hidupnya sedang mereka coba pahami.
  1. Hubungan Antara Antropologi dengan Ilmu Sejarah
Hubungan antara kedua ilmu ini mirip seperti dengan arkeologi tersebut di atas. Antropologi dan ilmu sejarah saling mengisi, baik dalam segi metodologi ataupun dalam segi penyediaan sumber-sumber datanya. Sumber-sumber sejarah banyak membantu antropologi, dan sebaliknya antropologi memberi sumbangan besar terhadap penulisan sejarah. Konsep-konsep antropologi tentang kehidupan masyarakat akan membri pengertian dan informasi yang diperlukan oleh para ahli sejarah untuk mengisi latar belakang dari suatu peristiwa politik dalam sejarah yang menjadi obyek penelitiannya.
Sebaliknya antropologi membutuhkan informasi dari ilmu sejarah, terutama sejarah tentang asal-mula dan perkembangan sulu-suku bangsa di daerah yang ditelitinya. Selain itu, seseorang antropolog masih dituntut memiliki pengetahuan tentang metode-metode dan kemampuan untuk mengkonstruksi sejarah, dari suatu rangkaian peristiwa atau kejadian-kejadian yang sangat berdampak langsung terhadap kehidupan sosial di suatu daerah dan sekitarnya (Koentjaraningrat, 1985: 35-36).
  1. Hubungan Antara Antropologi dengan Geografi
Geografi menjelaskan tentang gambaran alam semesta ini dan ciri-ciri serta sifat-sifat aneka bentuk kehidupan (flora, fauna dan makhluk manusia) yang ada dibumi. Seorang antropolog sangat memerlukan informasi yang dapat menjelaskan berbgaia masalah kehidupan manusia yang sangat tergantung dan erat keterkaitannya dengan keadaan lingkungan alamnya, hal ini untuk menjadi dasar pemikiran dalam pengembangan kesejahteraan kehidupan masyarakat berdasarkan potensi sumberdaya alam dan tetap menjaga, memelihara dan mempertahankan kelestarian lingkungan alamnya (Koentjaraningrat, 1985: 36).
  1. Hubungan Antara Antropologi dengan Ilmu Ekonomi
Para pakar ekonomi tidak mungkin dapat mempergunakan konsep-konsep dan teori-teori serta hukum-hukum ekonomi yang dikuasainya untuk mengembangkan dan membangun sektor ekonomi di suatu masyarakat/ negara, tanpa ada bantuan informasi tentang: sistem kemasyarakatan, pandangan hidup, cara berpikir, sikap terhadap kerja, sikap terhapa kekayaan, sistem pranata sosial, dan sikap hidup warga masyarakat/bangsa yang bersangkutan. Sebaliknya, antropologi dalam melihat perkembangan ekonomi suatu masyarakat/bangsa perlu memahami konsep-konsep, teori-teori dan hukum-hukum ekonomi yang tepat. Sehingga dalam hal ini antara ilmu ekonomi dan antropologi dapat saling mengisi (Koentjaraningrat, 1985: 36-37).
  1. Hubungan Antara Antropologi dengan Hukum Adat
Sejak lahirnya Ilmu Hukum Adat pada awal abad XX, para ahli hukum adat menyadari pentingnya antropologi sebagai ilmu bantu, bahkan metode-,etode penelitian antropologi untuk menyelami latar belakang kehidupan hukum adat Indonesia. Sebaliknya antropologi juga perlu bantuan ilmu hukum adat Indonesia. Setiap masyarakat selalu mempunyai aktivitas-aktivitas yang berfungsi sebagai pengendalian sosial (social control). Sehingga hukum dipandang sebagai salah satu aktivitas sosial dalam kontrol sosial. Dalam hal ini antropolog dituntut untuk mempunyai pengetahuan yang luas tentang konsep-konsep hukum (Koentjaraningrat, 1985: 37-38).





























GLOSARIUM

Artefak atau artifact merupakan benda arkeologi atau peningalan benda-benda bersejarah, yaitu semua benda yang dibuat atau dimodifikasi oleh manusia yang dapat dipindahkan.
Arkeolog ahli ilmu arkeologi
Antropolog ahli ilmu antropologi
Antropologi biologis, juga disebut antropologi jasmani (physical anthropology) adalah cabang dari antropologi yang, dalam konteks primat pada umumnya, khusus meneliti perkembangan spesies manusia
Antropologi budaya adalah cabang antropologi yang berpusat pada penelitian variasi kebudayaan di antara kelompok manusia.
Determinisme Budaya
Difusinisme
Etnografi
evolusi evo.lu.si
[n] perubahan (pertumbuhan, perkembangan) secara berangsur-angsur dan perlahan-lahan (sedikit demi sedikit)
Fosil  fo.sil
[n] sisa tulang belulang binatang atau sisa tumbuhan zaman purba yg telah membatu dan tertanam di bawah lapisan tanah
Kebiasaan
konstelasi kon.ste.la.si
[n] (1) kumpulan orang, sifat, atau benda yg berhubungan; (2) keadaan, tatanan: -- politik di Eropa; (3) bangun; bentuk; susunan; kaitan; (4) gambaran; keadaan yg dibayangkan: dl negara demokratis, pemerintah sedapat mungkin mencerminkan -- kekuatan yg ada dl masyarakat
relevansi re.le.van.si
[n] hubungan; kaitan: setiap mata pelajaran harus ada -- nya dng keseluruhan tujuan pendidikan
Somatologi adalah ilmu yang mempelajari keberagaman ras manusia dengan mengamati ciri-ciri fisik.


Primitif pri.mi.tif
[a] (1) dl keadaan yg sangat sederhana; belum maju (tt peradaban; terbelakang): kebudayaan --; (2) sederhana; kuno (tidak modern tt peralatan): senjata-senjata --
DAFTAR PUSTAKA


Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, 2005, PT Rineka Cipta, jakarta.
Pujileksono, S. 2006. Petualangan Antropologi. Malang: UMM Press
Saifuddin, A. 2006. Antropologi Kontemporer. Jakarta: Kencana
Sapardi. 2008. Pengantar Antropologi. Surakarta: UNS Press
Sumaatmadja, N.2003. Konsep Dasar IPS.Jakarta:Universitas Terbuka