BAB II
FILSAFAT ILMU-ILMU SOSIAL
A. FILSAFAT ILMU
1.
Definisi Filsafat Ilmu
Kata filsafat berkaitan erat dengan
segala sesuatu yang bisa dipikirkan oleh manusia, bahkan tidak akan pernah ada
habisnya karena mengandung dua kemungkinan, yaitu proses berpikir dan hasil berpikir.
Filsafat dalam arti pertama adalah jalan yang ditempuh untuk memecahkan
masalah. Sedangkan, pada pengertian kedua, merupakan rangkaian kesimpulan yang
diperoleh dari hasil pemecahan atau pembahasan masalah. (Djumransjah, 2006: 1)
Filsafat dari segi bahasa, pada
hakikatnya adalah menggunakan rasio (berpikir). Tetapi, tidak semua proses
berpikir disebut filsafat. Manusia yang berpikir, dapat diketahui dalam
kehidupan sehari-hari. Jika pemikiran manusia dapat dipelajari, maka ada empat
golongan pemikiran yaitu: pemikiran pseudo ilmiah, pemikiran awam, pemikiran
ilmiah, dan pemikiran filosofis. (Djumransjah, 2006: 2)
Filsafat ilmu merupakan bagian dari
epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu
(pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai
ciri-ciri tetentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara
ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan
teknis yang bersifat khas, maka filsafat
ilmu sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat-filsafat
sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang
ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan
cabang filsafat yang otonom. Ilmu memang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan
secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu
alam dan ilmu-ilmu sosial. (
Suriasumantri, 2005: 33)
Filsafat ilmu terutama diarahkan pada
komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu
ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
a. Ontologi
ilmu, meliputiapa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang
inheren dengan pengetahuan ilmiah.
b. Epistemologi
ilmu, meliputi sumber, sarana, dan tatacara menggunakan sarana tersebut untuk
mencapai pengetahuan (ilmiah).
c. Aksiologi
ilmu, meliputi nilai-nilai yang bersifat normatif dalam pemberian maka terhadap
kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan.
Filsafat ilmu adalah refleksi filsafati
yang tidak pernah mengenal titik henti dalam menjelajahi kawasan ilmiah untuk
mencapai kebenaran atau kenyataan, sesuatu yang memang tidak pernah akan
selesai diterangkan. (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2003: 14)
Filsafat juga merupakan ilmu tertua yang
menjadi induk ilmu pengetahuan lain. Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu Philos dan Sophia yang berarti cinta kebijaksanaan atau belajar. Lebih dari
itu, dapat diartikan cinta belajar paa umumnya hanya ada dalam filsafat. Untuk
alasan tersebut, maka sering dikatakan bahwa filsafat merupakan induk atau ratu
ilmu pengetahuan. (Djumransjah, 2006: 3)
Filsafat dipandang sebagai induk ilmu
pengetahuan, karena pada mulanya sebagian besar ilmu yang berkembang dewasa ini
berasal dari filsafat. Filsafat menjawab semua persoalan tentang hidup dan
kehidupan yang kesimpulannya bersifat hakiki. Antara lain, mengenai manusia,
ketuhanan, ekonomi, sosial, pengetahuan, pendidikan, dan lain-lain. Dalam hal
ini, tampak filsafat berperan sebagai induk atau ratu ilmu pengetahuan.
Jadi, dari uraian tentang pengertian
filsafat ditinjau dari segi arti bahasanya dapat disimpulkan bahwa filsafat
adalah:
a. Pengetahuan
tentang kebijaksanaan
b. Mencari
kebenaran
c. Pengetahuan
tentang dasar-dasar atau pronsip-prinsip.
(Djumransjah, 2006: 5)
Victor F. Lenzen dalam Philosophy of Science yang dimuat dalam Living Schools of Philosophy (1962)
merumuskan apa yang dimaksud dengan ilmu dan filsafat ilmu. Lenzen menyatakan,
ilmu berarti suatu kegiatan kritis yang bertujuan menemukan, dan juga merupakan
pengetahuan sistematis yang didasarkan pada kegiatan kritis tersebut.
Masalah-masalah filsafat ilmu mencakup: (1) struktur ilmu, meliputi metode dan
bentuk pengetahuan ilmiah, dan (2) kegunaan ilmu bagi kepentingan praktis dan
pengetahuan tentang kenyataan (hlm. 94). (Mudyahardjo, 2001: 6)
Untuk
memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian
filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu, yang
disusun oleh Ismaun (2001)
a. Robert
Ackerman
“Philosophy of science in one
aspect as a critique of current scientific opinions by comparison to proven
past views, but such aphilosophy ofscience is clearly not a discipline
autonomous of actual scientific practice.”(Filsafat ilmu dalam suatu segi
adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat pendapat ilmiah dewasa
ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat
ilmu jelasbukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara
aktual).
b. Lewis
White Beck
“Philosophy of science questions
and evaluates the methods ofscientific thinking and tries to determine the
value and significance of scientificenterprise as a whole.”(Filsafat ilmu
membahas dan mengevaluasi metode-metodepemikiran ilmiah serta mencoba menemukan
dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan).
c. Cornelius
Benjamin
“That philosopic disipline which is
the systematic study ofthe nature of science, especially of its methods, its
concepts and presuppositions,and its place in the general scheme of
intellectual discipines.”(Cabangpengetahuan filsafati yang merupakan telaah
sistematis mengenai ilmu,khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan
praanggapan-praanggapan,serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang
pengetahuan intelektual).
d. Michael
V. Berry
“The study of the inner logic if
scientific theories, and therelations between experiment and theory, i.e. of
scientific methods.”(Penelaahan tentang
logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode
ilmiah).
e. May
Brodbeck
“Philosophy of science is the
ethically and philosophically neutralanalysis, description, and clarifications
of science.”(Analisis yang netral secaraetis dan filsafati, pelukisan dan
penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu).
f. Peter
Caws
“Philosophy of science is a part of
philosophy, which attempts to dofor science what philosophy in general does for
the whole of human experience.Philosophy does two sorts of thing: on the other
hand, it constructs theories aboutman and the universe, and offers them as
grounds for belief and action; on theother, it examines critically everything
that may be offered as a ground for beliefor action, including its own
theories, with a view to the elimination ofinconsistency and error.”
(Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat yang mencoba berbuat bagi
ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu
pihak, ini membangun teori-teori
tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain
pihak, filsafat memeriksa secara
kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk
teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada
penghapusan ketakajegan dan kesalahan).
g. Stephen
R. Toulmin
“As a discipline, the philosophy of
science attempts, first, toelucidate the elements involved in the process of
scientific inquiry observationalprocedures, patens of argument, methods of
representation and calculation,metaphysical presuppositions, and so on and then
to veluate the grounds of theirvalidity from the points of view of formal
logic, practical methodology and metaphysics.” (Sebagai suatu cabang ilmu,
filsafat ilmu mencoba pertama-tama menjelaskan
unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola
perbinacangan, metode-metode penggantian
dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai
landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika
formal, metodologi praktis, dan metafisika).
Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran
bahwa filsafat ilmu merupakan telaah
kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikatilmu, yang ditinjau
dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian
dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang
secara spesifik mengakaji hakikat ilmu.
2.
Substansi Filsafat Ilmu
Telaah
tentang substansi Filsafat Ilmu, Ismaun (2001) memaparkannya dalamempat bagian,
yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau kenyataan, (2) kebenaran
(truth), (3) konfirmasi dan (4)
logika inferensi.
a. Fakta
atau kenyataan
Fakta
atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, bergantung darisudut pandang
filosofis yang melandasinya.
1) Positivistik
berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan sensual
lainnya.
2) Fenomenologik
memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian kenyataan ini. Pertama,
menjurus ke arah teori korespondensi yaitu adanya korespondensi antara ide dengan fenomena. Kedua,
menjurus ke arah koherensi moralitas,kesesuaian antara fenomena dengan sistem
nilai.
3) Rasionalistik
menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara empiris dengan skema
rasional.
4) Realisme-metafisik
berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada koherensi antara empiri dengan obyektif.
5) Pragmatisme
memiliki pandangan bahwa yang ada itu yang berfungsi.
Di
sisi lain, Lorens Bagus (1996) memberikan penjelasan tentang fakta obyektif dan
fakta ilmiah. Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomena atau bagian realitas
yang merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan praktis manusia. Sedangkan fakta
ilmiah merupakan refleksi terhadap fakta obyektif dalam kesadaran manusia. Yang
dimaksud refleksi adalah deskripsi fakta obyektif dalam bahasatertentu.Fakta
ilmiah merupakan dasar bagi bangunan teoritis. Tanpa fakta-fakta ini bangunan
teoritis itu mustahil. Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari bahasa yang
diungkapkan dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk suatu
deskripsi ilmiah.
b. Kebenaran
(truth)
Sesungguhnya,
terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun secara tradisional,
kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik
(Jujun S. Suriasumantri, 1982).
Sementara,
Michel William mengenalkan 5 teori kebenaran dalam ilmu, yaitu: kebenaran
koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif, kebenaran pragmatik
dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng Muhadjir menambahkannya satu teori lagi
yaitu kebenaran paradigmatik. (Ismaun; 2001)
1) Kebenaran
Koherensi
Kebenaran koherensi yaitu adanya kesesuaian
atau keharmonisan antara sesuatu yang lain dengan sesuatu yang memiliki hirarki
yang lebih tinggi dari sesuatu unsur tersebut, baik berupa skema, sistem, atau
pun nilai. Koherensi ini bisa pada tatanan sensual rasional mau pun pada
dataran transendental.
2)
Kebenaran Korespondensi
Berfikir benar korespondensial adalah
berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu lain.
Koresponsdensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalan atau berlawanan arah
antara fakta dengan fakta yang diharapkan, antara fakta dengan belief yang
diyakini, yang sifatnya spesifik
3) Kebenaran
Performatif
Ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya
dalam tampilan aktual dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya, baik yang
praktis yang teoritik, maupun yang filosofik, orang mengetengahkan kebenaran
tampilan aktual.Sesuatu benar bila memang dapat diaktualkan dalam tindakan.
4)
Kebenaran Pragmatik
Yang benar adalah yang konkret, yang individual
dan yang spesifik dan memiliki kegunaan praktis.
5)
Kebenaran Proposisi
Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi
banyak konsep kompleks, yang merentang dari yang subyektif individual sampai
yang obyektif. Suatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-proposisinya
benar. Dalam logika Aristoteles. Proposisi benar adalah bila sesuai dengan
persyaratan formal suatu proposisi.Pendapat lain yaitu dari Euclides, bahwa
proposisi benar tidak dilihat dari benar formalnya, melainkan dilihat dari
benar materialnya.
6)
Kebenaran struktural paradigmatik
Sesungguhnya
kebenaran struktural paradigmatik ini merupakan perkembangandari kebenaran
korespondensi.Sampai sekarang analisis regresi, analisis faktor, dan analisis
statistik lanjut lainnya masih dimaknai pada korespondensi unsur satudengan
lainnya. Padahal semestinya keseluruhan struktural tata hubungan itu yang
dimaknai, karena akan mampu memberi eksplanasi atau inferensi yang lebih
menyeluruh.
c. Konfirmasi
Fungsi
ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akandatang, atau
memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagaikonfirmasi
absolut atau probalistik.Menampilkan konfirmasi absolut biasanyamenggunakan
asumsi, postulat, atau aksioma yang sudah dipastikan benar.Tetapitidak salah
bila mengeksplisitkan asumsi dan postulatnya.Sedangkan untuk membuatpenjelasan,
prediksi atau pemaknaan untuk mengejar kepastian probabilistik dapatditempuh
secara induktif, deduktif, ataupun reflektif.
d. Logika
Inferensi
Logika
inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX adalah logika
matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik menampilkan kebenaran
korespondensi antara fakta. Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi
antara yang dipercaya dengan fakta. Belief pada Russel memang memuat moral,
tapi masih bersifat spesifik, belum ada skema moral yang jelas, tidak general
sehingga inferensi penelitian berupa kesimpulan kasus atau kesimpulan
ideografik.
Post-positivistik
dan rasionalistik menampilkan kebenaran koheren antararasional, koheren antara
fakta dengan skema rasio, Fenomena Bogdan dan Guba menampilkan kebenaran
koherensi antara fakta dengan skema moral. Realisme metafisik Popper
menampilkan kebenaran struktural paradigmatik rasional universal dan Noeng
Muhadjir mengenalkan realisme metafisik dengan menampilkan kebenaranan
struktural paradigmatik moral transensden. (Ismaun,200:9). Di lain pihak, Jujun
Suriasumantri (1982:46-49) menjelaskan bahwa penarikan kesimpulan baru dianggap
sahih kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu,
yakni berdasarkan logika. Secara garis besarnya, logika terbagi ke dalam 2
bagian, yaitu logika induksi dan logika deduksi.
Logika
induksi merupakan cara berpikir di mana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat
umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran secara induktif
dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup
yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan
pernyataan yang bersifat umum. Logika deduksi adalah cara berpikir di mana dari
pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang
dinamakan silogismus. (Jujun S. Suriasumantri, 2009:48-49)
B. ILMU-ILMU SOSIAL
1.
Definisi Ilmu Sosial
Ilmu
Sosial merupakan ilmu yang mempelajari perilaku dan aktivitas manusiadalam
kehidupan bersama. Menurut Bung Hatta Ilmu Sosial, sebagaimana halnya ilmuyang
lain adalah salah satu ragam dimana memiliki peran tiga wajah ilmu sosial,
sebagaicritical discourse, academic
enterprise, dan aplied science.
a. Critical Discourse
Wacana
kritis, membahas tentang apa adanya yang keabsahannya tergantung padakesetiaan
pada prasarat pada prasarat sistem rasionalitas yang kritisdan padakonvensi akademis
yang berlaku. Sangat gencar dalam percaturan teori dan metodedengan pertanyaan
mendasar apa, bagaimana, mengapa.
b. Academic Enterprise
Bagaimana mestinya, yang memposisikan bahwa ilmu-ilmu
sosial tidak bebas nilai. Taufik Abdullah, “ilmu sosial sebagai tetangga dekat
ideologi, sebagai sistematisasi strategis dari nilai dan filsafat sebagai
pandangan hidup.”
c. Aplied Science
Ilmu
sosial diperlukan untuk mendapatkan atau mencapai hal-hal praktis danberguna
bagi kehidupan manusia
2.
Ruang Lingkup Ilmu Sosial
Berbeda dengan IPS atau sosial studies,
istilah ilmu-ilmu sosial adalah terjemahan dari sosial sciences. Di samping ilmu-ilmu sosial terdapat pula ilmu-ilmu alam
(sciences) dan humanitis/humaniora. Ilmu-ilmu alam mempunyai tiga bagian
disiplin ilmu utama yang meliputi biologi, fisika, dan kimia. Sementara
humanities terdiri, antara lain sejarah dan sastra. Semua bidang keilmuan dan
humaniora ini berakar pada suatu bidang yang disebut filsafat. Setiap disiplin
ilmu mempunyai filsafatnya masing-masing yang pada akhirnya semua disiplin itu
berhulu pada ajaran agama.
Dalam struktur disiplin ilmu baik,
ilmu-ilmu sosial maupun ilmu pendidikan, belum ditemukan adanya nama sosiat
studies ataupun pendidikan IPS sebagai sub disiplin ilmu. Hal ini mungkin
terjadi karena social studies adalah sebuah program pendidikan dan bukan
subdisiplin ilmu (somantri, 2001:89). Namun demikian sampai saat ini peran
ilmu-ilmu sosial tetap menjadi konten utama untuk social studies atau PIPS.
Pembahasan pada bagian ini secara khusus difokuskan pada disiplin ilmu-ilmu
sosial terutama yang memberikan kontribusi pada pengembangan program social studies. Ada beberapa pengertian
ilmu-ilmu sosial yang dikemukakan oleh para ahli. Norman Mackenzie (1966:7)
merumuskan disiplin ilmu sosial sebagai “All the academic disciplines which
deal with men in their social context”, artinya semua disiplin akademik yang
berkaitan dengan manusia dalam konteks sosial. Bernard Mausner (1979:1)
menegaskan bahwa “the social sciences
reprecent yet another attempt to solve the puzzles inherent in the situation of
man in society”. Harold Kincaid (1996:6) mengemukakan “social sciences should describe how institution relate to and influence
one another, how social structure develop and change, and how those institution
and structures influence the fate of individual.”
Namun Somantri (2001) mengidentifikasi
sejumlah karakteristik dari ilmu-ilmu sosial sebagai berikut:
a. Berbagai
batang tubuh (body of knowledge)
disiplin ilmu-ilmu sosial yang secara sistematis dan ilmiah.
b. Batang
tubuh disiplin itu berisikan sejumlah teori dan jeneralisasi yang handal dan
kuat serta dapat diuji tingkat kebenarannya
c. Batang
tubuh disiplin ilmu-ilmu sosial ini disebut juga structure disiplin ilmu, atau
ada juga yang menyebutnya dengan fundamental ideas.
d. Teiri
dan generalisasi dalam struktur itu disebut pula pengetahuan ilmiah yang
dicapai lewat pendekatan “konseptual ”dan “syntactis”,
yaitu lewat proses bertanya, berhipotesis, pengumpulan data (observasi dan
eksperimen).
e. Setiap
teori dan generalisasi ini dikembangkan, dikoreksi, dan diperbaiki untuk
membantu dan menerangkan masa lalu, masa kini, dan masa depan serta membantu
memecahkan masalah-masalah sosial melalui pikiran, sikap, dan tindakan terbaik.
Selain mengkaji perilaku
manusia, disiplin ilmu-ilmu sosial memandang situasi peristiwa umat manusia
dari presfektif yang agak berbeda dan unik. Karena ada perbedaan presepsi maka
metodologi dan teknik penelitianpun berbeda. Setiap disiplin ilmu sosial
memiliki konsep-konsep, generalisasi teori yang dapat memberikan kontribusi
dalam penyusunan disain maupun dalam pelaksanaan proses belajar mengajar IPS
pada sekolah dasar dan menengah. Para ahli ilmu-ilmu sosial telah mencari sekitar 8 disiplin ilmu sosial
yang mendukung untuk pengembangan program social studies yang meliputi: antropologi, ekonomi, geografi, sejarah,
filsafat, ilmu politik, psikologi, dan sosiologi. Pada hakikatnya, semua
disiplin ilmu sosial tersebut memiliki objek kajian yang sama, yakni manusia.
Kontribusi ilmu-ilmu sosial
dalam pengembangan pendidikan IPS dalam kurikulum sekolah tidak diragukan lagi
sebagaimana pentingnya teori dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial. Namun, perlu
ada klarifikasi tentang teori khususnya
teori ilmu sosial dalam konteks PIPS. Banks (1990:103) menyatakan bahwa “social studies educators have done tively
little work related to the teaching of teories to students”. Pernyataan ini
menunjukkan bahwa teori ilmu sosial belum banyak dimanfaatkan dalam proses
pembelajaran IPS. Banks mengakui bahwa sebenarnya banyak ahli yang menyarankan
agar para pengembang kurikulum melakukan identifikasi terhadap teori-teori ilmu
sosial yang dapat membantu para siswa dalam mengambil keputusan dan belajar
konsep dan generalisasi.
Wallerstein
(1977): Sosiologi, antropologi, geografi, ekonomi, sejarah, psikologi, hukum,
ilmu politik. Sedangkan Brown membagi dalam sosiologi, antropologi, ekonomi,
sejarah, psikologi, hukum, dan ilmu politik.
3. Perkembangan
Ilmu-Ilmu Sosial
Menurut
Wallerstein, perkembangan ilmu sosial dimulai sejak masa Yunanidan Romawi
kuno.Proses institusionalisasi pada abad ke-19 terdapat di lima kotaaktivitas
sosial ilmu yakni Inggris, perancis, Jerman, italia, dan Amerika Serikat.
Disiplin llmu sosial pertama yang mencapai eksistensi institusional otonom adalailmu
sejarah, walaupun banyak sejarawan secara antusias menolak label ilmu
sosial.Ilmu sejarah memang suatu praktik yang sudah berlangsung lama, dan
terminology sejarah itu sudah amat kuno.
Disiplin
ilmu ekonomi juga baru secara formal disebut sebagai disiplin ilmupada abad ke
19. Ketika pemberlakuan teori-teori ekonomi liberal pada abad ke-19, istilah
ekonomi politik yang populer abad ke-18 digantikan . Dengan melucuti
kata‘politik’ para ekonom berargumentasi bahwa perilaku ekonomi lebih merupakan
cermn suatu psikologi individualistik universal daripada institusi-institusi
yangdikonstruksikan secara sosial (Dadang, hlm.37). Argumentasi inilah yang
kemudian digunakan untuk melaksanakan keilmiahan prinsip-prinsip laissez-faire.
Ketika
ilmu ekonomi berkembang menjadi disiplin ilmu yang matang dibeberapa perguruan
tinggi, pada abad XIX juga berkembang muncul disiplin ilmusosiologi. Auguste
Comte (sang penemu) berkeyakinan bahwa ilmu tersebut harusmenjadi ‘ratu
ilmu-ilmu’. Sosiologi merupakan hasil asosiasi-asosiasi reformasi sosialyang
agenda utamanya berkaitan dengan berbagai ketidakpuasan yang disebabkanoleh
kekacauan populasi kelas pekerja perkotaan yang semakin besar jumlahnyaseiring
dengan dampak revolusi industri.
Fase selanjutnya berkembang ilmu politik.
Kemunculannya bukan karenasubject matternya negara kontemporer dan
perpolitikannya, juga bukan karena kurangmenyetujui analisis nomotetis, tetapi
karena resistensi fakultas-fakultas hukum untukmerebut monopoli di arena ini.
Begitukah
empat serangkai (sejarah, ekonomi, sosiologi, dan politik) telahberhasil
menjadi disiplin-disiplin ilmu sosial di universitas pada abad XIX di
kelimanegara yakni Inggris, Perancis, Jerman, Italia, dan Amerika Serikat
paling tidak sampai dengan tahun 1945
Pada
akhir abad XIX, geografi berhasil merekonstruksikan dirinya sebagai sebuah
disiplin baru, terutama di beberapa universitas di Jerman. Psikologi pada
mulanya merupakan bagian integral dari filsafat. Pada abad XIX psikologi mulai
menunjukkan jati dirinya, terutama dengan kepeloporan Saint Agustinis (354-430
M) dengan minatnya dalam melakukan introspeksi dan keingintahuannya akan
fenomena psikologis termasuk perilaku bayi dan kerumunan orang di kereta api.
Pada
abad ke19 terdapat dua teori psikologi yang saling bersaing yaitu faculty
psychology (psikologi kemampuan) dan psikologi asosiasi yang lahir karena
timbulnya frenologisyang dikemukakan Gall untuk mencoba melokalisasi kemampuan
khusus pada otak yang berbeda-beda. Pada tahun 1879 Wundt untuk pertama kali
mendirikanlaboratorium psikologi pertama di Universitas Leipzig di Jerman.
Sedangkan G.Stanley Hall mendirikan lab psikologi pertama di John Hopkins
University, padatahun 1883 di AS.
Dalam
perkembangannya psikologi sering berada pada dua tempat yakni disiplin ilmu
sosial dan ilmu alam. Hal ini bertalian erat dengan kedekatan psikologi dengan
arena medis, sehingga banyak psikolog yang meyebrang psikologi dari ilmu sosial
ke ilmu biologi. Istilah psikologi sosial merupakan penguatan bahwa psikologi
masih menempatkan kakinya pada ranah ilmu sosial.
C. FILSAFAT ILMU-ILMU
SOSIAL
1. Konstruksi Filsafat Sosial
dan Ilmu-Ilmu Sosial
Filsafat sosial (termasuk politik dan
ekonomi), menyelidiki masalah keberadaan saling berhubungan antara manusia
dengan masyarakat, perangkat nilai-nilai asosiatif yang tertuju pada proses
sosial yang terarah, kekuatan dan kekuasaan negara, pengawasan sosial yang
berkenaan dengan hukum dan hak, kewajiban politik, dan keadilan. (Robert N.
Beck, Handbook in Social Philosophy,
hlm. 4-5 dalam Mudyahardjo, 2001: 4)
Thomas Hobbes membataskan Filsafat
Sosial sebagai suatu teori umum tentang masyarakat manusia. Robert N. Beck
dalam Handbook in Social Philosophy (1979),
menyatakan bahwa filsafat sosial berkenaan dengan prinsip-prinsip yang
mendasari proses-proses sosial, baik dalam arti nyata maupun ideal. Bertitik
tolak pada batasan tersebut, Beck merumuskan enam masalah pokok yang dibahas
dalam Filsafat Sosial, yaitu hakikat atau prinsip-prinsip: (1) hubungan manusia
dengan masyarakat; (2) nilai-nilai sosial dan politik; (3) negara, kekuatan,
dan kekuasaan; (4) hukum dan hak; (5) kewajiban politik dan (6) cita-cita keadilan.
Dengan demikian, apabila bertitik tolak dari pandangan Beck maka filasafat
sosial Pendidikan mempunyai enam masalah pokok, yang berupa analisis kritis dan
komprehensif tentang implikasi atau pengaruh konsep-konsep: hubungan manusia
dengan masyarakat, nilai-nilai sosial dan politik, negara, kekuatan dan
kekuasaan, hukum dan hak, kewajiban politik, serta cita-cita keadilan terhadap
penyelenggaraan pendidikan dalam suatu negara. (Mudyahardjo, 2001: 6)
Filsafat
ilmu sosial merupakan cabang dari filsafat yang mempelajari persoalan sosial
kemasyarakatan secara kritis, radikal dan komprehensif. Sejak Plato dan
Aristoteles kajian terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan sudah menjadi
objek penelitian tersendiri. Menurut Plato dan Aristoteles, susunan masyarakat
mencerminkan susunan kosmos yang abadi. Manusia berkewajiban untuk menyesuaikan diri dengan susunan itu
dan mentaati demi keselamatannya, kalau tidak ia menghancurkan dirinya.
Pada
abad pertengahan masyarakat Eropa masih memperlihatkan pada pola dasar yang
sama, hanya sekedar mengoreksi terhadap paham Plato dan Aristoteles. Paham
tentang otonomi kosmos diganti dengan paham heteronominya, yaitu kepercayaan
bahwa kosmos tidak berdiri sendiri, tetapi bergantung pada kemaha kuasaan
Allah, ketertiban kosmos adalah suatu ketertiban yang telah diciptakan.
Pemahaman
masyarakat Eropa sedikit demi sedikit berubah sejak masa renaissance.
Manusia pada saat itu sekuat tenaga berusaha mencari alternatif baru agar dapat
keluar dari kungkungan absolutisme Gereja, dan sejak itulah peranan manusia
menjadi besar, manusia menyadari hanya merekalah yang dapat mengatur diri
mereka sendiri. Locke, Berkeley, Hume, Montesquieu, Voltaire, Diderot, d’Alembert,
dan Rousseau menyuarakan paham baru untuk menentang kepercayaan lama,
bahwa segala-galanya di bawah kolong langit telah langsung diatur oleh
kekuasaan Tuhan untuk selama-lamanya.
Lahirnya
revolusi Prancis tahun 1789 M yang kemudian diikuti oleh revolusi baru tahun
1830 dan 1848, telah meruntuhkan susunan masyarakat feodal dan mengawali proses
demokratisasi dialami oleh banyak orang sebagai sebuah kejutan. Tak pernah
sebelumnya orang membayangkan bahwa suatu orde sosial yang disangka tak
terubahkan dan selamanya terbekati oleh kehendak Allah, telah dirombak dan
diganti oleh pikiran usaha manusia sendiri. Gagasan-gagasan barupun tumbuh pada
keyakinan bahwa manusia ‘bebas’ untuk mengatur dunianya. Dengan demikian
struktur sosial berabad-abad tidak dipermasahkan tiba-tiba menjadi masalah. Di
sinilah sosiologi lahir sebagai ilmu pengetahuan.
Abad
19 ditandai oleh optimisme besar terhadap datangnya zaman baru yang lebih baik,
para sarjana ilmu alam berkeyakinan lahirnya industrialisasi yang dapat
menciptakan kemakmuran manusia. Ilmuan sosial juga mempunyai pandangan yang
sama bahwa mereka akan mampu menemukan hukum-hukum sosial yang dapat diterapkan
dalam masyarakat. Optimisme yang besar tersebut ternyata tidak serta merta
terealisasi karena pada abad 19 revolusi Prancis terjadi, dan
kekhawatiran-kekhawatiranpun telah menyelimuti masyarakat. Dalam situasi yang
ambivalen ini, sosiologi mulai berkembang yaitu dengan tampilnya dua aliran
yang sifatnya saling bertentangan.
Pertama,
aliran konservatif, yang menginginkan kembali ke masa feodal, yaitu zaman
hegemoni agama, di mana agama merupakan kekuatan yang mengintegrasikan
masyarakat. Kedua, aliran progresif, aliran ini juga menyesal atas
perpecahan dan anarki, tetapi tidak bersedia kembali ke zaman feodal. Beberapa
tokoh progresif seperti, Saint Somon, Charle Fourrier, Pierre Joseph Proudhon
dan Auguste Comte meramalkan bahwa abad 19 merupakan abad ‘industri’ dan
terbentunya orde sosial baru. Pada abad ini agama bukan lagi kekuatan yang
melembaga semua bidang masyarakat, melainkan kecerdasan manusia. Masyarakat
baru akan dibangun atas dasar suatu perencanaan rasional yang dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Tampilnya
Auguste Comte dengan bukunya ‘Sistem Filsafat Positif’ telah memberikan warna
tersendiri terhadap kajian kemasyarakatan secara kritis, sistematis dan
intensif secara modern pada abad ke 19. Sejak kemunculannya hingga saat ini
sosiologi masih dibayang-bayangi oleh pengaruh filsafat dan psikologi, hal
semacam itu wajar karena kelahiran sosiologi ditengah persaingan pengaruh
antara filsafat dan psikologi.
Harus
diakui kajian terhadap persoalan kemasyarakatan bukan sesuatu yang baru, karena
menunggu adanya ilmu-ilmu lain yang kemudian menyatu ke dalam suatu keseluruhan
yang integral sebagai ilmu tersendiri. Maka ilmu sosial terus berkembang
merambah ke seluruh Eropa, dan filsuf-filsuf sosial dan mazhab sosial terus
bermunculan di mana-mana, salah satu yang paling terkenal adalah mazhab
Frankfurt. Mazhab ini menunjukkan pada sekelompok sarjana yang bekerja pada
lembaga untuk penelitian sosial di Frankfurt. Lembaga ini didirikan oleh Felix
Weil pada tahun 1923, dan mengalami puncak keemasan ketika Max Horkheimer
menjadi direktur pada tahun 1930 M. Horkheimer merupakan tokoh kiri yang
mengkritik teori tradisional untuk menganalisis fungsi ilmu pengetahuan dan
filsafat dalam masyarakat. Teori kritis akan melawan semua bentuk teori yang
mau bersikap objektif dengan mengambil jarak terhadap situasi historis. Teori
kritis menjadi visi dan misi dari madhab Frankfurt dalam melakukan aksi
pemikiran para tokoh-tokohnya.
Selain
Horkheimer, Harbert Marcuse dalam mengembangkan ide-ide pokoknya melakukan
rekonstruksi rasionalitas dengan melahirkan bermacam-macam rasio dalam tataran
praksisnya, yaitu rasio instrumental, rasio yuridis, rasio kognitif dan rasio
ilmiah. Sedangkan Habermas sebagai tokoh paling kritis dalam melihat fenomena
sosial masyarakat berusaha merekonstruksi nalar masyarakat sehingga akan
terbentuk ruang yang steril dari dominasi yang akan membawa sikap pada
emansipatoris. Untuk mewujudkan ambisinya tersebut, Habermas mengkritisi
mecetnya teori kritis dengan mendasarkan teorinya pada epistemologi praksis
dari rasionalitas ilmu. Tujuannya adalah agar terbentuknya masyarakat
komunikatif yang terbebas dari dominasi berbagai kekuatan melalui berbagai
argumentasi untuk mencapai sebuah klaim kesahihan yang rasional tanpa paksaan.
Lembaga
penelitian sosial Frankfurt kemudian semakin kuat karena didukung oleh
sarjana-sarjana dari berbagai bidang keahlian, supaya persoalan-persoalan yang
menyangkut masyarakat dapat dipelajari dari berbagai segi ilmiah, seperti
Horkheimer ahli dalam Filsafat Sosial, Friedrich Pollock (Ekonomi), Leo
Lowenthal (Sosiologi, kesusasteraan), Walter Benjamin (Kesusasteraan), Theodor
W. Adorno (Musikologi, Filsafat, Psikologi, Sosiologi), Erich Fromn
(Psikoanalisa), Harbert Marcuse (Filsafat), Edmund Husserl (Filsafat), dan
Jurgen Habermas (Filsafat).
Mazhab
Frankfurt dalam prakteknya menggunakan filsafat sosial dalam membangun ‘teori
kritis’. Teori kritis yang dibangun dalam mazhab Frankfurt paling besar
dipengaruhi oleh Marx dan Hegel. Melalui kedua pemikir besar tersebut
teori-teori sosial mengalami perkembangan. Seperti teori Marx dalam melihat
hubungan-hubungan produksi dan bentuk-bentuk pengorganisasian sosial serta
ketergantungan produsen dengan bukan produsen. Sementara Hegel memandang
kehidupan sosial sebagai suatu kesatuan yang terorganisir, berkembang menuju
arah yang pasti. Konstruksi teori sosial dari tokoh-tokoh mazhab Frankfurt
tersebut telah menyebabkan penyebaran ilmu sosial kemudian terus meluas
keseluruh dunia. Pada tahun 70-an di Amerika pengkajian terhadap ilmu-ilmu
sosial berkembang secara pesat, alasannya sederhana, sosiologi tidak ingin
kalah dengan ilmu alam dan ekonomi yang lebih dahulu menggunakan model berpikir
matematisasi. Sosiologi tidak ingin ketinggalan dalam atmosfer perkembangan
akademik yang pragmatis di Amerika, maka dengan segala cara dan keahlian
berupaya mengikuti jejak disiplin ekonomi, yaitu menjadi bagian dari ilmu-ilmu
keras, agar memperoleh legetimasi dan layak dianggap sebagai ‘ilmu.
George
Ritzer, sebagai sosiolog Amerika kontemporer berupaya melakukan rekonstruksi
pengilmiahan tersebut dengan mengacu pada apa yang pernah dilakukan oleh Weber.
Bagi Ritzer, membawa ilmu dan humaniora dalam satu atap ala Weber adalah dengan
melakukan rekonstruksi sosiologi humanis menuju praxis. Perdebatan tentang
pengilmiahan sosiologi di Amerika dipicu oleh banyak sosiolog, salah satunya
adalah Robert Nisbet, yang menyindir bahwa sosiologi bukan ilmu tetapi masuk ke
dalam ruang lingkup seni. Di sisi lain bahwa mempelajari perilaku manyarakat
tidak perlu dengan teori tetapi cukup dengan common sense, dalam hal
ini harus dipandang dalam dua hal. Pertama, pandangan itu turun dari
cara pemahaman yang berbasis pada sosiologi pengetahuan yang berfokus pada
pengetahuan sehari-hari orang awam. Kedua, pernyataan tersebut lebih
merupakan sinisme kaum positivis yang menganggap bahwa hanya fenomena alam yang
bisa dijelaskan lewat postulat, paradigma, teori, konsep, perspektif dan
lain-lain. Sementara fenomena sosial cukup dengan nalar awam, dalam batas
tertentu fenomena sosial bisa dijelaskan dengan rigorous theory,
tetapi pada sisi lain teori tersebut gagal dan yang diperlukan cara
interpretatif untuk memperoleh kedalaman, bahkan tidak tertutup kemungkinan
penjelasan yang agak spekulatif juga diperlukan dalam rangka memperoleh
alternatif penjelasan. Dalam hal ini spekulasi memungkinkan orang berpikir
kreatif, bahkan kaum post strukturalis kadang bersifat ‘sewenang-wenang’ dengan
metode semiotiknya dalam menjelaskan fenomena sosial.
2. Filsafat Ilmu Sosial di
Tengah Komplektisitas Perubahan Sosial
Perubahan
sosial sebagai perubahan yang terjadi dalam jangka waktu tertentu. Konsep dasar
perubahan sosial mencakup tiga hal, pertama, perbedaan, kedua,
pada waktu berbeda, ketiga, di antara keadaan sistem sosial yang sama.
Dengan demikian perubahan sosial adalah setiap perubahan yang tak terulang dari
sistem sosial sebagai satu kesatuan. Terhadap perubahan sosial, sosiolog sejak
beberapa dekade terakhir telah memberikan perhatian khusus dalam melihat
perubahan sosial, setidaknya mereka melihat dalam perkembagan sosial yang
melukiskan proses perkembagan potensi yang terkandung di dalam sistem sosial.
Bentuk
proses sosial lain yang ditekankan para sosiolog adalah peredaran sosial,
proses sosial ini tidak lagi menuju arah tertentu tetapi juga tidak serampangan
karena ditandai oleh pola edaran, yaitu keadaan sistem pada waktu tertentu
kemungkinan besar muncul kembali pada waktu mendatang dan merupakan replika
dari apa yang telah terjadi pada masa lalu. Kemudian terjadi perulangan yang
disebabkan oleh kecendrungan permanen di dalam sistem karena sifatnya
berkembang dengan cara bergerak. Dengan demikian masyarakat tidak boleh
dibayangkan sebagai keadaan yang tetap, tetapi sebagai proses, bukan sebagai
objek semu yang kaku, tetapi sebagai aliran peristiwa terus menerus tanpa
henti.
Gerakan
sosial secara historis adalah fenomena universal dan bagian sentral modernitas,
gerak sosial berkaitan erat dengan perubahan struktural. Ada enam tipe gerakan
sosial terlihat dalam masyarakat.
Pertama,
gerakan sosial yang berbeda menurut bidang perubahan yang diinginkan, ada yang
terbatas tujuannya, karena hanya untuk mengubah aspek tertentu masyarakat,
tanpa menyentuh inti struktur institusinya. Gerakan ini merupakan gerakan
perubahan dari dalam, bukan merubah masyarakat secara keseluruhan. Kedua,
gerakan yang berbeda dalam kualitas perubahan yang diinginkan, sebab ada
gerakan yang menekankan pada inovasi, berjuang memperkenalkan institusi baru,
hukum baru, bentuk kehidupan baru, dan keyakinan baru. Gerakan semacam ini
ingin membentuk masyarakat ke dalam satu pola yang belum pernah ditemukan
sebelumnya. Orientasi gerakan ini adalah ke masa depan dengan menekankan pada
sesuatu yang baru.
Ketiga,
gerakan yang berbeda dalam target perubahan yang diinginkan, ada yang
memusatkan perhatian pada perubahan struktur sosial dan ada yang memusatkan
perubahan individual. Keempat, gerakan sosial yang berbeda mengenai
arah yang diinginkan. Kebanyakan gerakan mempunyai arah positif. Gerakan
seperti itu biasanya mencoba memperkenalkan perubahan tertentu, dan
mempertahankan ketika gerakan dimobilisasi ke arah yang negatif.
Kelima,
gerakan sosial yang berbeda dalam strategi yang melandasi logika tindakan.
Ada yang mengikuti logika instrumental, gerakan ini umumnya berambisi pada
kekuasaan. Dan ada logika pernyataan persamaan yang berjuang menegaskan
identitas, seperti berjuan untuk mendapatkan pengakuan nilai-nilai, emansipasi,
otonomi, dan lain sebagainya. Keenam, perbedaan tipa gerakan sosial
yang ditemukan dalam epos sejarah berlainan, seperti sejarah sosial pra modern
dan sejarah sosial modern.
Gerakan
sosial seperti di atas, bila dilihat dari perspektif paradigma yang dibangun
oleh Kuhn, bahwa suatu paradigma gerak tertentu dibangun oleh suatu pandangan
fundamental tentang apa yang menjadi pokok persoalan pengetahuan. Kuhn
menegaskan bahwa bidang pengetahuan disebut ilmiah bila memiliki paradigma
tunggal, maka sosiologi yang sedang dalam taraf perkembangan multi perspektif
dianggap sebagai pre science. Dengan demikian cara memahami fenomena
sosial berbeda dengan cara memahami fenomena alam. Fenomena sosial memiliki
banyak aspek sehingga satu perspektif saja tidak cukup, tetapi dibutuhkan multi
perspektif sesuai dengan karakter fenomena sosial yang multi dimensional. Model
tunggal paradigma Kuhn tidak cocok untuk sosiologi.
Ritzer
merupakan orang yang mengakomodasi beberapa hal dari Kuhn, terutama model
paradigma dan sekaligus mengambil ide Friedrich tentang dual paradigma. Bagi
Ritzer, sosiologi sebagai body of scince tidak harus terjebak dalam
penerapan model tunggal paradigma secara kaku, namun sosiologi memiliki
paradigma jamak. Ada tiga paradigma yang beroperasi dalam sosiologi, pertama,
paradigma fakta sosial dengan eksemplar teori pemikiran Durkheim tentang ‘fakta
sosial’ yang cara memahaminya bisa seperti metode ilmu alam.
Paradigma
fakta sosial cendrung kepada metode interviu, kuesioner, komparatif dan memakai
metode observasi. kedua, paradigma defenisi sosial, dengan eksemplar
teori Weber tentang makna-makna subjektif realitas sosial dengan metode
interpretatif. Paradigma ini cendrung pada penggunaan metode observasi. Ketiga,
paradigma perilaku sosial dengan eksamplar teori B.F. Skinner tentang
makna psikologi sosial dalam tindakan sosial dengan metode pemahaman
makro-mikro.
Paradigma
perilaku sosial metode yang digunakan lebih banyak metode eksprimen. Bagi
Ritzer, perjuangan sosiologi menjadi ilmiah ditujukan dalam kajian meta teori
paradigma terintegrasi. Fenomena sosial bisa dipahami melalui pendekatan
paradigma yang terintegrasi tersebut. Ketiga paradigma sosiologi tersebut buka
merupakan hal terpisah, namun karena realitas sosial yang bersifat multi
dimensional, maka bisa digunakan secara terpadu, apakah diterapkan dengan cara
proporsional atau eklektik.
Gambaran
perubahan dan paradigma tersebut, membutuhkan analisis sosiologi dan analisis
filsafat sosial secara mendalam. Sosiologi dibutuhkan untuk melihat masyarakat
pada tataran luaran dengan mengandalkan observasi terhadap kehidupan sosial
kemasyarakatan. Sementara filsafat Sosial diperlukan untuk menganalisis persoalan-persoalan
sosial secara mendalam, memberikan pandangan lebih luas dan koprehensif dengan
menggunakan pendekatan teori-teori filsafat.
Filsafat
sosial sebagai ilmu kritis dalam melihat dan menganalisis persoalan sosial
kemasyarakatan akan terselamatkan dari bahaya-bahaya legalisme, kemunafikan,
dan penglarutan kepribadian di satu pihak, dan suatu otonomi di lain pihak.
Dengan demikian filsafat sosial dalam hal ini bertitik tolak dari manusia yang
dwi tunggal. Individu dan masyarakat.
Peran
filsafat sosial dalam ranah kehidupan sosial harus berpartisipasi dalam
melayani manusia. Karena itu para ilmuan sosial harus menentukan
keberpihakannya kepada siapa mereka melayani. Filsafat sosial harus menolak
pemisahan antara teori dan praktek, dan semua praktek dan teori harus
didiskusikan. Kepentingan praktek bagi ilmuan sosial adalah untuk membebaskan
manusia dari ketertindasan dengan demikian posisi mereka sebagai manusia dapat
berubah.
Filsafat
sosial melihat masyarakat sebagai kesatuan manusia dalam kebersamaan. Melalui
kebersamaan itu kemudian filsafat sosial melihat struktur, proses dan makna
sosial, baik pada masa lalu atau sekarang, yang di dalamnya mempelajari
nilai-nilai, tujuan-tujuan individu, kelompok dan kelas sosial. Filsafat sosial
sebagai ilmu kritis mempunyai karakter berbeda dari ilmu sosial positif. Karena
sifatnya yang kritis, maka filsafat sosial mengenal apa yang disebut sebagai
praxis dimana aksi berperan sebagai sumber dan pengesahan teori.
3. Jejak Ilmu-Ilmu Sosial di
Indonesia
Pengkajian
terhadap ilmu-ilmu sosial secara resmi pada universitas-universitas di Eropa
baru di mulai pada abad ke 20 M. Sementara kajian ilmu sosial di Indonesia baru
berkembang pada tahun 1960-an, hal ini dapat dilacak dari beberapa periodeisasi
tertentu, pertama, sebelum tahun 1960-an pengaruh ideologi, kedua,
tahun 1960-an berkembangnya teori pembangunan, ketiga, periode 1970-an
berkembangnya isu pribumisasi ilmu-ilmu sosial, keempat, periode
1980-an berkembangnya gugatan atas dominasi positivisme dan strukturalisme
fungsional dalam ilmu sosial. Fenomena tersebut telah menggugah ilmuan sosial
untuk mencari filosofi dan ideologi alternatif untuk membangun ilmu sosial
Indonesia, salah satu alternatif adalah penggalian filosofi dan ideologi
pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu. Gerakan ini pada perkembangannya
kemudian dikenal sebagai gerakan pribumisasi ilmu-ilmu sosial. Kelima,
periode 1990-an berkembangnya perspektif kritis dalam melihat persoalan sosial
kemasyarakatan.
Mengklasifikasikan
periodeisasi pada dasarnya mengalami kesulitan tersendiri, antara lain: (1)
pendekatan periodeisasi cenderung memotong peristiwa sejarah. Padahal pada
kenyataanya sejarah tidak bisa dipotong menjadi bagian-bagian yang kaku dalam
tahun-tahun. (2) rencana periodeisasi sejarah seperti pada poin di atas tanpak
terlalu memaksa diri, sehingga sejarah dipaksakan untuk dikotak-kotakkan dalam
periode tertentu. Untuk menghindari kesulitan tersebut maka harus dilihat
historisitas ilmu-ilmu sosial di Indonesia seperti fase kelahiran, dan fase
perkembangannya. Dengan mengetahui fese tersebut akan membantu untuk
menjelaskan corak epistemologisnya.
Bila
melihat dari perspektif teori sosial, maka teori sosial yang digunakan hanya
teori yang mendukung pembangunan, sementara teori-teori kritis kurang
dikembangkan, sehingga perkembangan ilmu sosial di Indonesia hanya dikuasai
oleh suatu ‘monisme’ tertentu, dengan corak epistemologi positivisme dan
strukturalisme fungsional, terakhir baru dikembangkan teori kritis mazhab
Frankfurt, postmodernisme dan pemikiran epistemologi Islam.
Gambaran
di atas membutuhkan suatu paradigma ilmu sosial baru yang didasarkan atas
kultur masyarakat Indonesia. Dalam merumuskan paradigma baru tersebut peran
filsafat ilmu menjadi sangat penting. Filsafat ilmu diharapkan memberi refleksi
kritis sekaligus mencari alternatif yang berkaitan asumsi-asumsi dasar
ilmu-ilmu sosial.
4. Pribumisasi Ilmu-Ilmu
Sosial di Indonesia
Sebuah
tantangan yang harus diemban oleh para ilmuan sosial di Indonesia yaitu
bagaimana mengembangkan gerakan pribumisasi (indigenisasi) ilmu-ilmu
sosial ke dalam analisis konseptual dengan memakai pikiran-pikiran dasar yang
cocok dengan kondisi rill masyarakat Indonesia. Menurut Ignas Kleden,
pribumisasi ilmu-ilmu sosial harus seperti gerakan revolusioner dalam
dunia yang biasanya mendasarkan diri pada kekuatan dan kemampuan sebagai claim
universal, yaitu sebuah klaim yang diperkenalkan oleh ilmu-ilmu alam yang
mempunyai pengaruh yang besar terhadap ilmu-ilmu sosial yang seolah-olah dalam
keadaan tertentu berlaku dalam ilmu-ilmu sosial.
Ilmu
sosial dalam proses pribumisasi pada esensialnya harus membebaskan metodologi
ilmu-ilmu sosial dari metodologi ilmu-ilmu alam dengan memberi pendasaran yang
baru, sebab dalam realitas perkembangan ilmu sosial di Indonesia masih
dipengaruhi oleh filsafat positivistik, dimana
ilmu sosial, dan hasil penelitiannya dapat dirumuskan dalam hukum-hukum
seperti dalam ilmu-ilmu alam, sehingga ilmu-ilmu sosial harus bersifat teknsi,
yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni, tidak bersifat
etis dan juga tidak terikat pada dimensi politis manusia. dengan demikian
ilmu-ilmu sosial seperti ilmu-ilmu alam, bersifat netral, bebas dari nilai.
Untuk
itu, ilmu-ilmu sosial dalam perkembangannya berusaha melakukan rekayasa sosial
melalui proses kontekstualisasi asumsi-asumsi dasar dari teori sosial dalam
disiplin ilmu masing-masing. Perkembangan ini harus dilihat dari sudut
perkembangan dan rekayasa sosial, bahwa setiap disiplin ilmu mencoba menemukan
peranan yang relevan dengan gerak langkah perubahan zaman, seperti dalam
konteks negara Indonesia harus sesuai dengan budaya masyarakat dan gerak
pembangunan. Dengan demikian tantangan yang harus dihadapi menemukan teori
sosial baru yang sesuai dengan realitas sosial sekaligus dapat menentukan
dinamika perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia.
GLOSARIUM
Absolut : ab·so·lut a 1
tidak terbatas; mutlak: seorang raja mempunyai kekuasaan --; 2
sepenuhnya; 3 tanpa syarat: penyerahan -- tentara kolonial Belanda
kpd tentara pendudukan Jepang; 4 tidak dapat diragukan lagi; nyata: terbukti
keterlibatannya dl peristiwa itu –
Aksioma : ak·si·o·ma n
pernyataan yg dapat diterima sbg kebenaran tanpa pembuktian
Asosiatif : aso·si·a·tif a bersifat asosiasi: bagi mereka, hubungan antara
peristiwa-peristiwa yg terjadi itu hanya (bersifat) –ber·ko·res·pon·den·si
v mengadakan (melakukan) korespondensi. ber·u·jar v
berkata; berucap
Deduktif : de·duk·tif /déduktif/ a
bersifat deduksi
Eklektik :
ek·lek·tik /ékléktik/ a bersifat memilih yg
terbaik dr berbagai sumber (tt orang, gaya, metode)
Feodal :
fe·o·dal /féodal/ a 1 berhubungan
dng susunan masyarakat yg dikuasai oleh kaum bangsawan; 2 mengenai kaum
bangsawan (tt sikap, cara hidup, dsb); 3 mengenai cara pemilikan tanah
pd abad pertengahan di Eropa
Fundamental :fun·da·men·tal /fundaméntal/ a
bersifat dasar (pokok); mendasar: iman merupakan suatu hal yg sangat -- di
dl kehidupan manusia
Humaniora : hu·ma·ni·o·ra n 1
ilmu pengetahuan yg meliputi filsafat, hukum, sejarah, bahasa, sastra, seni,
dsb; 2 makna intrinsik nilai-nilai humanism
Induktif : in·duk·tif a
bersifat (secara) induksi
Inferensi : in·fe·ren·si /inférénsi/ n
simpulan; yg disimpulkan
Institusional : in·sti·tu·si·o·nal a
mengenai lembaga atau bersifat kelem-bagaan: struktur -- serta mekanisme
administrasinya perlu disempurnakan
Integral : in·teg·ral a 1
mengenai keseluruhannya; meliputi seluruh bagian yg perlu untuk menjadikan
lengkap; utuh; bulat; sempurna: masalah itu akan diselesaikan secara -- ,
tidak secara sebagian-sebagian; 2 tidak terpisahkan; terpadu: Bimbingan
Penyuluhan merupakan bagian -- dr pendidikan
Interpretatif :
in·ter·pre·ta·tif /interprétatif/ a bersifat
adanya kesan, pen-dapat, dan pandangan; berhubungan dng adanya tafsiran
Koherensi : ko·he·ren·si
/kohérénsi/ n 1 tersusunnya uraian atau pandangan sehingga
bagian-bagiannya berkaitan satu dng yg lain; 2 Sas keselarasan yg
mendalam antara bentuk dan isi karya sastra; 3 Ling hubungan
logis antara bagian karangan atau antara kalimat dl satu paragraf; 4 Kim
daya tarik antara molekul untuk menghindarkan terpisahnya bagian apabila ada
kekuatan dr luar
Komparatif :
kom·pa·ra·tif a berkenaan atau berdasarkan
perbandingan
Komprehensif :kom·pre·hen·sif
/kompréhénsif/ a 1 bersifat mampu menangkap (menerima) dngan
baik; 2 luas dan lengkap (tt ruang lingkup atau isi); 3 mempunyai
dan memperlihatkan wawasan yg luas
Komunikatif :
ko·mu·ni·ka·tif a 1 dl keadaan
saling dapat berhubungan (mudah dihubungi); 2 mudah dipahami
(dimengerti): bahasanya sangat -- sehingga pesan yg disampaikannya dapat
diterima dng baik
Konseptual : kon·sep·tu·al /konséptual/ a
berhubungan dng (berciri spt) konsep
Konservatif :
kon·ser·va·tif /konsérvatif/ a 1
kolot; 2 bersikap mempertahankan keadaan, kebiasaan, dan tradisi yg
berlaku
Kontekstualisasi :
de·kon·teks·tu·a·li·sa·si /dékontékstualisasi/ n
sas jarak waktu yg memisahkan pembaca teks dng teks yg ditelitinya sbg tidak
adanya kemungkinan pembaca bertanya secara langsung tt teks yg ditelitinya: --
muncul krn perbedaan situasi yg dialami pembaca dan saat teks itu sendiri
dibuat
Kontemporer : kon·tem·po·rer /kontémporér/ a
pd waktu yg sama; semasa; sewaktu; pd masa kini; dewasa ini: di samping
tarian klasik disuguhkan juga tarian --; bulan ini diadakan pameran seni lukis
-- di Taman Ismail Marzuki, Jakarta
Konvensi : kon·ven·si /konvénsi/ n
1 permufakatan atau kesepakatan (terutama mengenai adat, tradisi, dsb): berdasarkan
-- , sudah sewajarnya pria melindungi wanita; 2 perjanjian
antarnegara, para penguasa pemerintahan, dsb: -- Hukum Laut telah disetujui
oleh negara sedang berkembang; 3 konferensi tokoh masyarakat atau
partai politik dng tujuan khusus (memilih calon untuk pemilihan anggota DPR dsb
Korespondensi : ko·res·pon·den·si /koréspondénsi/ n
1 perihal surat menyurat; 2 Sas perihal hubungan antara
bunyi yg satu dan yg lain dl sajak; 3 Sas hubungan antara bentuk
dan isi;meng·u·jar·kan v mengatakan; menuturkan: dia ~ sesuatu
yg tidak dimengerti orang.
Metafisika : me·ta·fi·si·ka
/métafisika/ n ilmu pengetahuan yg berhubungan dengan hal-hal yg nonfisik atau tidak kelihatan
Metodologi : me·to·do·lo·gi /métodologi/ n
ilmu tt metode; uraian tt metode: para penulis sejarah perlu menguasai --
penelitian sejarah
Otonom : oto·nom a 1
berdiri sendiri; dng pemerintahan sendiri: daerah --; 2 kelompok
sosial yg memiliki hak dan kekuasaan menentukan arah tindakannya sendiri
Paradigma :
pa·ra·dig·ma n 1 ling daftar
semua bentukan dr sebuah kata yg memperlihatkan konjugasi dan deklinasi kata
tsb; 2 model dl teori ilmu pengetahuan; 3 kerangka berpikir
Performatif : ujar
n 1 perkataan yg diucapkan: begitu -- anak itu kpd
teman-temannya; 2 kalimat atau bagian kalimat yg dilisankan;
Positivistik : po·si·ti·vis·tik a pasti;
tentu; tegas
Postulat : pos·tu·lat n asumsi
yg menjadi pangkal dalil yg dianggap benar tanpa perlu membuktikannya; anggapan
dasar; aksioma
Pragmatik : prag·ma·tik a Ling 1
berkenaan dng syarat-syarat yg mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa
dl komunikasi; 2 Pol berkenaan dng negara, pemerintahan: sanksi
–
Progresif :
prog·re·sif /progrésif/ a 1 ke arah
kemajuan; 2 berhaluan ke arah perbaikan keadaan sekarang (tt politk); 3
bertingkat-tingkat naik (tt aturan pemungutan pajak dsb)
Proporsi : pro·por·si n 1
perbandingan: -- antara yg lulus dan yg tidak lulus adalah tiga dng dua;
2 bagian: pemerintah merasa perlu menempatkan fungsi pengawasan pd --
yg semestinya; 3 perimbangan: sesuai dng –
Rasio :
ra·si·o·na·lis n orang yg menganut paham
rasionalisme
Realisme : re·al·is·me /réalisme/ n
1 paham atau ajaran yg selalu bertolak dr kenyataan; 2 aliran
kesenian yg berusaha melukiskan (menceritakan sesuatu sebagaimana
kenyataannya);
Reflektif : re·flek·tif /réfléktif/ a
gerakan badan di luar kemauan; secara refleks: ia merajuk dan menggaruk
kepalanya secara –
Regresi : re·gre·si /régrési/ n
1 (urutan dsb) mundur; urutan berbalik ke belakang; 2 Geo
penyusutan luas (air) laut yg disebabkan oleh faktor tertentu; 3 Psi
proses berbalik ke tahap perkembangan perilaku sebelumnya yg dialami orang krn
frustasi; 4 Hid hubungan rata-rata antara variable
Semiotik :
se·mi·o·tik /sémiotik/ n segala sesuatu yg
berhubungan dng sistem tanda dan lambang dl kehidupan manusia
Spekulatif :
spe·ku·la·tif /spékulatif/ a 1 dng
pemikiran dalam-dalam secara teori; 2 bersifat spekulasi
(untung-untungan)
Transendental : tran·sen·den·tal /transéndéntal/ a
1 menonjolkan hal-hal yg bersifat kerohanian; 2 sukar dipahami; 3
gaib; 4 abstrak ujar·an n kalimat atau bagian kalimat yg
dilisankan;~ konstatatif ujaran yg dipergunakan untuk menggambarkan atau
memerikan peristiwa, proses, keadaan, dsb dan sifatnya betul atau tidak betul;
~ performatif ujaran yg memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah
diselesaikan pembicara dan dng pengungkapannya berarti perbuatan itu
diselesaikan pd saat itu juga. ujar-ujar Jk n nasihat atau
kata-kata nenek moyang berupa peribahasa, pepatah, dsb: ingatlah ~ orang
tua, yg menanam yg memetik
DAFTAR
PUSTAKA
Djumransjah, M.
2006. Filsafat Pendidikan. Malang:
Bayumedia Publishing.
Fay,
B. 2002.Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer.
Yogyakarta: Jendela.
Mudyahardjo, Redja. 2001. Filsafat Ilmu Pendidikan. Bandung:
ROSDA.
Sapriyah.
2009. Pendidikan IPS. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya
Soltis,
J. 1988. Filsafat Pendidikan Sejak Awal
Abad Ini. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Suriasumantri, Jujun. 2005. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Sinar Harapan.
Suriasumantri, Jujun. 2009. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas
Filsafat UGM. 2003. Filsafat Imu.
Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar