BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut
Undang-undang RI no 23 tahun 2004 yang dimaksud KDRT adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan hukum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan
dalam rumah tangga yang sering terjadi di dalam keluarga terjadi sebagai bentuk
tidak harmonisnya hubungan dalam sebuah keluarga. Salah satu faktor melemahnya
nilai ideal sebuah keluarga adalah tidak terwujudnya komunikasi yang lancar
antar anggota keluarga tersebut. Kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya
terjadi antara suami pada istri, istri pada suami, tetapi terjadi pula orang
tua kepada anak.
Permasalahan
dan konflik kecil dalam rumah tangga sebenarnya adalah hal yang wajar dan
hampir semua keluarga pernah mengalaminya. Yang menjadi berbeda adalah cara
bagaimana mengatasi masalah tersebut dan dengan cara apa masalah tersebut
diselesaikan. Tiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahya
masing-masing. Solusi utama dalam mengatasi masalah kekerasan dalam rumah tangga
adalah komunikasi yang lancar dan tidak terputus. Prinsip komunikasi yang
diterapkan untuk mencari jalan keluar bukan semakin memperuncing masalah.
Bentuk
kekerasan rumah tangga yang banyak diketahui dan diyakini sebagai kekerasan
adalah penganiayaan fisik berupa kontak secara fisik. Kontak fisik berupa pemukulan, penjeweran, pelemparan
dengan benda yang kemudian berujung pada luka memar , sampai luka terbuka, yang
menimbulkan bekas luka. Sebenarnya yang tergolong sebagai kekerasan dalam rumah
tangga bukan hanya kekerasan yang berbentuk fisik. Perilaku dan ucapan kasar
pun termasuk bentuk kekerasan.
Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT) telah menjadi agenda bersama dalam beberapa waktu
ini. Fakta menunjukan bahwa KDRT memberikan efek negatif yang cukup besar bagi
wanita sebagai korban.Maka dari itu kita akan mengulasnya secara signifikan
pada pembahasan di makalah ini.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa
penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga?
2.
Bagaimana
bentuk kekerasan dalam rumah tangga?
3.
Apa
dampak kekerasan dalam rumah tangga?
4.
Bagaimana
solusi untuk mengatasi kekerasan dalam rumah tangga?
5.
Bagaimana
landasan hukum kekerasan dalam rumah tangga?
1.3
Tujuan
1.
Mengetahui penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
2.
Mengetahui bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga
3.
Megetahui
dampak kekerasan dalam rumah tangga
4.
Mengetahui
solusi untuk mengatasi kekerasan dalam rumah tangga
5.
Menjabarkan
landasan hukum kekerasan dalam rumah tangga
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Penyebab
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Kekerasan
dalam rumah tangga dapat dipicu oleh banyak faktor. Diantaranya ada faktor
ekonomi, pendidikan yang rendah, cemburu dan bisa juga disebabkan adanya salah
satu orang tua dari kedua belah pihak, yang ikut ambil andil dalam sebuah rumah
tangga. Kekerasan dalam rumah tangga yang disebabkan faktor ekonomi, bisa
digambarkan misalnya minimnya penghasilan suami dalam mencukupi kebutuhan rumah
tangga.
Terkadang ada seorang istri yang
terlalu banyak menuntut dalam hal untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, baik
dari kebutuhan sandang pangan maupun kebutuhan pendidikan. Dari situlah timbul
pertengkaran antara suami dan istri yang akhirnya menimbulkan kekerasan dalam
rumah tangga. Kedua belah pihak tidak lagi bisa mengontrol emosi masing-masing.
Seharusnya seorang istri harus bisa memahami keuangan keluarga. Naik turunnya
penghasilan suami sangat mempengaruhi besar kecilnya pengeluaran yang
dikeluarkan untuk keluarga. Disamping pendapatan yang kecil sementara
pengeluaran yang besar seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun
keuangan yang ada dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi
apabila terjadi pendapatan yang minim. Cara itu bisa menghindari pertengkaran
dan timbulnya KDRT di dalam sebuah keluarga.
Dari faktor pendidikan, bisa
disebabkan oleh tidak adanya pengetahuan dari kedua belah pihak bagaimana cara
mengimbangi dan mengatasi sifat-sifat yang tidak cocok diantara keduanya.
Mungkin di dalam sebuah rumah tangga ada suami yang memiliki sifat arogan dan
cenderung menang sendiri, karena tidak adanya pengetahuan. Maka sang istri
tidak tahu bagaimana cara mengatasi sifat suami yang arogan itu sendiri.
Sehingga, sulit untuk menyatukan hal yang berbeda. Akhirnya tentulah kekerasan
dalam rumah tangga. Kalau di dalam rumah tangga terjadi KDRT, maka perempuan
akan menjadi korban yang utama. Seharusnya seorang suami dan istri harus banyak
bertanya dan belajar, seperti membaca buku yang memang isi bukunya itu
bercerita tentang bagaimana cara menerapkan sebuah keluarga yang sakinah,
mawaddah dan warahmah.
Di dalam sebuah rumah tangga butuh
komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga
yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada
keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi
pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga. Seharusnya seorang suami dan
istri bisa mengimbangi kebutuhan psikis, di mana kebutuhan itu sangat
mempengaruhi keinginan kedua belah pihak yang bertentangan. Seorang suami atau
istri harus bisa saling menghargai pendapat pasangannya masing-masing.
Sepertti halnya dalam berpacaran.
Untuk mempertahankan sebuah hubungan, butuh rasa saling percaya, pengertian,
saling menghargai dan sebagainya. Begitu juga halnya dalam rumah tangga harus
dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka
mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka
yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang
juga berlebih-lebihan. Tidak sedikit seorang suami yang sifat seperti itu,
terkadang suami juga melarang istrinya untuk beraktivitas di luar rumah. Karena
mungkin takut istrinya diambil orang atau yang lainnya. jika sudah begitu
kegiatan seorang istri jadi terbatas. Kurang bergaul dan berbaur dengan orang
lain. Ini adalah dampak dari sikap seorang suami yang memiliki sifat cemburu
yang terlalu tinggi. Banyak contoh yang kita lihat dilingkungan kita, kajadian
seperti itu. Sifat rasa cemburu bisa menimbukan kekerasan dalam rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga juga
bisa disebabkan tidak adanya rasa cinta pada diri seorang suami kepada
istrinya, karena mungkin perkawinan mereka terjadi dengan adanya perjodohan
diantara mereka tanpa didasari dengan rasa cinta terlebih dahulu. Itu bisa
membuat seorang suami menyeleweng dari garis-garis menjadi seorang suami yang
baik dan lebih bertanggung-jawab. Suami sering bersikap kasar dan ringan
tangan. Untuk menghadapi situasi yang seperti ini, istri butuh kesabaran yang
sangat amat besar. Berusaha berbuat semanis mungkin agar suami bisa berubah dan
bersikap manis kepada istri.
Maka dari itu, di dalam sebuah rumah
tangga kedua belah pihak harus sama-sama menjaga agar tidak terjadi konflik
yang bisa menimbulkan kekerasan. Tidak hanya satu pihak yang bisa memicu
konflik di dalam rumah tangga, bisa suami maupun istri. Sebelum kita melihat
kesalahan orang lain, marilah kita berkaca pada diri kita sendiri. Sebenarnya
apa yang terjadi pada diri kita, sehingga menimbulkan perubahan sifat yang
terjadi pada pasangan kita masing-masing.
2.2 Bentuk
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga tidaklah
selalu muncul dengan seketika, tetapi terjadi melalui proses tertentu. Secara
umum proses terjadinya adalah sebagai berikut:
a)
Muncul
masalah yang memicu ketegangan
b)
Dilanjutkan
dengan ungkapan verbal yang kasar kepada suami/isteri atau anak
c)
Kata-kata
kasar dilanjutkan dengan penyiksaan
d)
Dalam
posisi ini perlawanan justru akan meningkatkan ledakan emosi
e) Setelah puas melampiaskan emosinya,
ketegangan menurun, dan diikuti penyesalan dari pelaku. Dan berikut ini merupakan bentukbentuk kekerasan yang
acap kali terjadi dalam sebuah rumah tangga. :
a. Kekerasan Fisik
yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Misalnya perbuatan memukul, menempeleng,
meninju, menampar, menendang, mendorong, melempar sesuatu, menjambak rambut,
mencekik, dan penggunaan senjata tajam.
b. Kekerasan Psikis,
yaitu perbuatan yang bersifat verbal yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,
dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Misalnya mengejek, mencela,
menghina, memaki dengan kata-kata kotor, mengancam akan menyiksa, membawa pergi
anak-anak, akan membunuh, melarang berhubungan dengan keluarga, atau dengan
kawan dekat, atau melakukan intimidasi bahkan isolasi.
c. Kekerasan Seksual,
yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga, dan pemaksaan hubungan seksual
terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Misalnya pemerkosaan.
terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Misalnya pemerkosaan.
d. Penelantaran Rumah Tangga (Kekerasan
Ekonomi), yaitu perbuatan menelantarkan orang
dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan,
atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Misalnya: membatasi pemberian nafkah,
tidak merawat anak-anak, meninggalkan rumah tangga dengan tidak bertanggung
jawab, memaksa anak-anak mengemis, memaksa anak/isteri melakukan prostitusi.
2.3 Dampak
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Beberapa
dampak yang mungkin timbul akibat terjadinya KDRT adalah sebagai berikut :
Dampak
pada istri :
§ Perasaan rendah diri, malu dan pasif
§ Gangguan kesehatan mental seperti kecemasan
yang berlebihan, susah makan dan susah tidur
§ Mengalami sakit serius, luka parah dan
cacat permanen
§ Gangguan kesehatan seksual.
Dampak
pada anak-anak :
§
Mengembangkan
prilaku agresif dan pendendam
§
Mimpi
buruk, ketakutan, dan gangguan kesehatan
§
Kekerasan
menimbulkan luka, cacat mental dan cacat fisik.
Dampak
pada suami :
§
Merasa
rendah diri, pemalu, dan pesimis
§
Pendiam,
cepat tersinggung, dan suka menyendiri.
2.4 Solusi untuk mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga maka
masyarakat perlu digalakkan pendidikan mengenai HAM dan pemberdayaan perempuan;
menyebarkan informasi dan mempromosikan prinsip hidup sehat, anti kekerasan
terhadap perempuan dan anak serta menolak kekerasan sebagai cara untuk
memecahkan masalah; mengadakan penyuluhan untuk mencegah kekerasan;
mempromosikan kesetaraan jender; mempromosikan sikap tidak menyalahkan korban
melalui media.
Sedangkan untuk pelaku dan korban kekerasan sendiri, sebaiknya mencari
bantuan pada Psikolog untuk memulihkan kondisi psikologisnya. Bagi suami
sebagai pelaku, bantuan oleh Psikolog diperlukan agar akar permasalahan yang
menyebabkannya melakukan kekerasan dapat terkuak dan belajar untuk berempati
dengan menjalani terapi kognitif. Karena tanpa adanya perubahan dalam pola
pikir suami dalam menerima dirinya sendiri dan istrinya maka kekerasan akan
kembali terjadi.
Sedangkan bagi istri yang mengalami kekerasan perlu menjalani terapi
kognitif dan belajar untuk berperilaku asertif. Selain itu, istri juga dapat
meminta bantuan pada LSM yang menangani kasus-kasus kekerasan pada perempuan
agar mendapat perlidungan.
Suami dan istri juga perlu untuk terlibat dalam terapi kelompok dimana
masing-masing dapat melakukan sharing sehingga menumbuhkan keyakinan bahwa
hubungan perkawinan yang sehat bukan dilandasi oleh kekerasan namun dilandasi
oleh rasa saling empati. Selain itu, suami dan istri perlu belajar bagaimana
bersikap asertif dan me-manage emosi sehingga jika ada perbedaan pendapat tidak
perlu menggunakan kekerasan karena berpotensi anak akan mengimitasi perilaku
kekerasan tersebut. Oleh karena itu, anak perlu diajarkan bagaimana bersikap
empati dan memanage emosi sedini mungkin namun semua itu harus diawali dari
orangtua.
2.5 Landasan Hukum Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Terdapat beberapa perlindungan hukum yang telah diatur dalam UU
Penghapusan KDRT ini. Di samping sanksi ancaman hukuman pidana penjara dan
denda yang dapat diputuskan oleh Hakim, juga diatur pidana tambahan yang dapat
dijatuhkan oleh Hakim yang mengadili perkara KDRT ini, serta penetapan
perlindungan sementara yang dapat ditetapkan oleh Pengadilan sejak sebelum
persidangan dimulai.
Ø Penerapan Ancaman Pidana Penjara dan Denda
Dari hasil pemantauan terhadap kasus-kasus KDRT di Jakarta, Bogor
Tangerang, Depok dan Bekasi, penegakan hukumnya selain menggunakan UU No. 23
tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT juga menggunakan KUHP dan UU No. 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak. Tercatat sejumlah sanksi pidana penjara antara
6 bulan hingga 2 tahun 6 bulan. yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri
dengan menggunakan pasal-pasal UU No. 23 tahun 2004 diantaranya pasal 49 jo
pasal 9 dan pasal 279 KUHP untuk tindak penelantaran dan suami menikah lagi
tanpa ijin istri; pasal 44 untuk tindak kekerasan fisik; pasal 45 untuk tindak
kekerasan psikis berupa pengancaman. Sedangkan putusan Pengadilan dengan sanksi
pidana penjara yang lebih tinggi hingga 6 tahun diputuskan terhadap sejumlah
kasus dalam relasi KDRT, yang didakwa dan dituntut dengan menggunakan
pasal-pasal KUHP (pasal 351, 352, 285, 286 jo 287, 289 & 335 untuk kasus
penganiayaan anak dan perkosaan anak); pasal 81 & 82 UU No. 23 tahun 2002
dan pasal 287 & 288 KUHP untuk kasus perkosaan anak. Belum ditemukan
tuntutan yang menggunakan ancaman pidana penjara atau denda maksimal
sebagaimana yang diatur dalam UU Penghapusan KDRT ini.
Ø Penerapan Pidana Tambahan
Hingga kini belum ada putusan Pengadilan yang menjatuhkan hukuman pidana
tambahan terhadap pelaku KDRT sebagaimana yang diatur oleh UU No. 23 tahun
2004. Pasal 50 UU tersebut mengatur:
Selain pidana
sebagaimana dimaksud dalam bab ini, Hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan
berupa:
a. pembatasan
gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam
jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
b. penetapan
pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.”
Putusan Pengadilan ini diharapkan menjadi suatu bentuk perlindungan hukum
bagi hak-hak korban dan merespon kebutuhan untuk mencegah berlanjutnya ancaman
tindak KDRT. Di samping itu juga ada kebutuhan untuk menyelenggarakan program
konseling yang ditujukan untuk membimbing pelaku melakukan koreksi atas
perbuatan KDRT yang pernah dilakukannya. Inisiatif untuk merancang program dan
menyenggarakan konseling bagi pelaku KDRT sudah dimulai oleh Mitra Perempuan
bekerjasama dengan sejumlah konselor laki-laki dari profesi terkait dan petugas
BAPAS yang mempersiapkan modul untuk layanan konseling yang dibutuhkan.
Data di WCC mencatat bahwa sejumlah perempuan menempuh upaya hukum
secara perdata dengan mencantumkan alasan tindak KDRT dalam gugatan perceraian
ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama. Hal ini dipilih oleh mereka yang
tidak bermaksud mempidanakan suaminya, namun memerlukan upaya hukum agar dapat
memutus mata rantai kekerasan yang dilakukan oleh suaminya selama perkawinan.
Ø Penerapan Perlindungan Bagi Korban oleh Pengadilan
Salah satu bentuk perlindungan hukum yang juga dirancang khusus untuk
merespon kebutuhan korban kejahatan KDRT dan anggota keluarganya adalah
penetapan yang berisi perintah perlindungan yang dapat ditetapkan oleh
Pengadilan sebagaimana diatur dalam pasal-pasal 28-38 UU No. 23 tahun 2004.
Ketua Pengadilan wajib mengeluarkan surat penetapan yang beisi perintah
perlindungan tersebut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya
surat permohonan kecuali ada alasan yang patut (pasal 28). Permohonan tersebut
dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan.
Pasal 29 UU ini mengatur :
”Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan
oleh:
a.
korban atau keluarga korban;
b. teman korban;
c. kepolisian;
d. relawan pendamping;atau
e. pembimbing rohani.”
b. teman korban;
c. kepolisian;
d. relawan pendamping;atau
e. pembimbing rohani.”
Bentuk perlindungan hukum ini juga belum banyak dikenal dan diterapkan oleh
para penegak hukum dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Berdasarkan pemantauan LSM
hingga tahun 2008 ini, baru satu Pengadilan Negeri di Jawa Tengah yang telah
beberapa kali mengeluarkan surat penetapan perintah perlindungan bagi korban,
dan memprosesnya dalam tenggang waktu kurang dari 7 (tujuh) hari.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Tindak kekerasan
terhadap perempuan dan KDRT tidak kenal usia, status, etnis, warna kulit,
tempat dan waktu. Selalu mungkin saja terjadi, bukan saja karena ada niat,
tetapi juga terbukanya peluang untuk melakukan tindak kekerasan tersebut.
Berbagai bentuk tindak kekerasan seperti dalam rumah tangga, perkosaan,
pelecehan seksual, perdagangan perempuan, kejahatan perkawinan dan tenaga
kerja. Jenis kekerasan seperti kekerasan fisik dan nonfisik(psikologis).
Berbagai tindak kekerasan ini terjadi tentunya karena adanya relasi atau
interaksi sosial yang semakin terbuka dan dipengaruhi oleh berbagai nilai demokrasi,
modernisasi dan nilai-nilai global yang semakin melemahkan nilai-nilai budaya
dan moral kita. Adalah tanggung jawab kita semua untuk memahami permasalahan
kekerasan terhadap perempuan dan KDRT.
Satu hal yang perlu
kita sadari bahwa kekerasan terhadap perempuan/KDRT oleh suami, misalnya,
sering sekali adalah akibat prilaku istrinya sendiri yang terlalu emosional dan
tidak rasional tatkala menghadapi masalah dalam rumah tangga. Laki-laki, bukan
hanya perempuan perlu instrospeksi diri untuk melihat sumber-sumber pemicu
kekerasan dalam rumah tangga antara suami dan isteri dan anak-anak. Kita perlu
sadar hukum, perlu berani bertindak, dan terbuka. Demikian pula tidak menabukan
masalah pendidikan seks kepada anak-anak.
3.2
Saran
KDRT merupakan permasalahan yang telah mengakar
sangat dalam dan terjadi di seluruh negara dunia. Dalam hal ini, masyarakat
internasional telah menciptakan standar hukum yang efektif dan khusus
memberikan perhatian terhadap KDRT. Penegakan hukum
untuk menerapkan Undang-Undang Penghapusan KDRT yang sarat dengan perlindungan
hak-hak korban dan keluarganya memerlukan komitmen yang kuat dengan penghargaan
yang tinggi terhadap nilai keadilan, non diskriminasi dan hak asasi manusia
sebagaimana telah dijamin oleh konsititusi. Selain itu dibutuhkan pula kondisi
penegakan hukum yang bebas dan bersih dari korupsi, suap dan kolusi di seluruh
jajaran lembaga penegak hukum, layanan sosial dan layanan publik yang terkait.
Pasal - Pasal dalam UU Anti KDRT
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2004
TENTANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
NOMOR 23 TAHUN 2004
TENTANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan
rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Bahwa
segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan
pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta
bentuk diskriminasi yang harus dihapus;
c. Bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan
dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan system hokum di Indonesia belum
menjamin pelindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga;
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan seba¬gaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, perlu dibentuk
Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
BAB I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam Iingkup rumah
tangga.
2. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan
melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
3. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan
dan/atau ancaman kekerasan dalam Iingkup rumah tangga.
4. Perlindungan adalah segala upaya yang
ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak
keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau
pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
5. Perlindungan Sementara adalah perlindungan
yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak
lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
6. Perintah Perlindungan adalah penetapan yang
dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban.
7. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan.
Pasal 2
(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini
meliputi:
a. Suami, isteri, dan anak;
b.Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga
dengan orang sebagaimana dimaksud ada huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah
tangga; dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan
menetap dalam rumah tangga tersebut.
(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud
huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada
dalam rumah tangga yang bersangkutan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas:
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas:
a. Penghormatan hak asasi manusia;
b. Keadilan dan kesetaraan gender;
c. Nondiskriminasi; dan
d. Perlindungan korban
Pasal 4
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan:
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan:
a. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah
tangga;
b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah
tangga;
c. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah
tangga; dan
d. Memelihara keutuhan rumah tangga yang
harmonis dan sejahtera.
BAB III
LARANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
LARANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam Iingkup rumah tangganya, dengan cara:
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam Iingkup rumah tangganya, dengan cara:
a. Kekerasan fisik;
b. Kekerasan psikis;
c. Kekerasan seksual; atau
d. Penelantaran rumah tangga
Pasal 6
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Pasal 7
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Pasal 8
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Pasal 7
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Pasal 8
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah
seorang dalam iingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu.
Pasal 9
1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang
dalam Iingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan,
atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
2. Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1)
juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi
dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau
di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
BAB IV
HAK-HAK KORBAN
HAK-HAK KORBAN
Pasal 10
Korban berhak mendapatkan:
Korban berhak mendapatkan:
a. perlindungan dari pihak keluarga,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak
Iainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan
dari pengadilan;
b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
medis;
c. penanganan secara khusus berkaitan dengan
kerahasiaan korban;
d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan
hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
e. pelayanan bimbingan rohani.
BAB V
KEWAJIBAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT
KEWAJIBAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT
Pasal 11
Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 12
Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 12
(1) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11, pemerintah ;
a. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga;
b. Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan
edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
c. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi
tentang kekerasan dalam rumah tangga; dan
d. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan
sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkari standar
dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakah oleh menteri.
(3) Menteri dapat melakukan koordinasi dengan
instansi terkait dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2)
Pasal 13
Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat mei kukan upaya:
Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat mei kukan upaya:
a. Penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor
kepolisian;
b. Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja
sosial, dan pembimbing rohani;
c. Pembuatan dan pengembangan sistem dan
mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses
oleh korban; dan
d. Memberikan perlindungan bagi pendamping,
saksi, keluarga, dan teman korban.
Pasal 14
Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing, dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial Iainnya.
Pasal 15
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk :
Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing, dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial Iainnya.
Pasal 15
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk :
a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. Memberikan perlindungan kepada korban;
c. Memberikan pertolongan darurat; dan
d. Membantu proses pengajuan permohonan
penetapan perlindungan.
BAB VI
PERLINDUNGAN
PERLINDUNGAN
Pasal 16
1. Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh
empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam
rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada
korban.
2. Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau
ditangani.
3. Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh
empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan.
Pasal 17
Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban.
Pasal 18
Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan.
Pasal 19
Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 20
Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang:
Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban.
Pasal 18
Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan.
Pasal 19
Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 20
Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang:
a. Identitas petugas untuk pengenalan kepada
korban;
b. Kekerasan dalam rumah tangga adaiah
kejahatan terhadap martabat kemanusiaan; dan
c. Kewajiban kepolisian untuk melindungi korban.
Pasal 21
(1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban,
tenaga kesehatan harus:
a. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan
standar profesinya;
b. Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan
terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau
surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat
bukti.
(2) pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah
daerah, atau masyarakat.
Pasal 22
(1) Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial
harus:
a. Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan
rasa aman bagi korban;
b. Memberikan informasi mengenai hak-hak korban
untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan;
c. Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat
tinggal alternatif; dan
d. Melakukan koordinasi yang terpadu dalam
memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga
sosial yang dibutuhkan korban.
(2) Pelayanan pekerja sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah
daerah, atau masyarakat.
Pasal 23
Dalam memberikan pelayanan, relawan pendamping dapat:
Dalam memberikan pelayanan, relawan pendamping dapat:
a. Menginformasikan kepada korban akan haknya
untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping;
b. Mendampingi korban di tingkat penyidikan,
penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk
secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang
dialaminya;
c. Mendengarkan secara empati segala penuturan
korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping; dan
d. Memberikan dengan aktif penguatan secara
psikologis dan fisik kepada korban.
Pasal 24
Dalam memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban.
Pasal 25
Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib
Dalam memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban.
Pasal 25
Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib
a. Memberikan konsultasi hukum yang mencakup
informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan;
b. Mendampingi korban di tingkat penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk
secara iengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau
c. Melakukan koordinasi dengan sesama penegak
hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan
sebagaimana mestinya.
Pasal 26
(1) Korban berhak melaporkan secara Iangsung
kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian balk di tempat korban berada maupun
di tempat kejadian perkara.
(2) Korban dapat memberikan kuasa kepada
keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada
pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian
perkara.
Pasal 27
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 28
Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban clan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut.
Pasal 29
Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh:
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 28
Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban clan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut.
Pasal 29
Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh:
a. Korban atau keluarga korban;
b. Teman korban;
c. Kepolisian;
d. Relawan pendamping; atau
e. Pembimbing rohani
Pasal 30
1. Permohonan perintah perlindungai disampaikan
dalam bentuk lisan atau tulisan.
2. Dalam hal permohonan diajukan secara lisan,
panitera pengadilan negeri setempat wajib mencatat permohorian tersebut.
3. Dalam hal permohonan perintah perlindungan
diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau
pembimbing rohani maka korban harus memberikan persetujuannya.Dalam keadaan
tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban.
Pasal 31
(1) Atas permohonan korban atau kuasanya,
pengadilan dapat mempertimbangkan untuk :
a. Menetapkan suatu kondisi khusus;
b. Mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus
dari perintah perlindungan.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diajukan bersama-sama dengan proses pewpajuan perkara kekerasan dalam
rumah tangga
Pasal 32
1. Perintah perlindungan dapat diberikan dalam
waktu paling lama 1 (satu) tahun.
2. Perintah perlindungan dapat diperpanjang
atas penetapan pengadilan.
3. Permohonan perpanjangan Perintah
Perlindungan diajukan 7 (tujuh) hari sebelum berakhir masa berlakunya.
Pasal 33
1. Pengadilan dapat menyatakan satu atau Iebih
tambahan perintah perlindungan.
2. Dalam pemberian tambahan perintah
perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga
kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
Pasal 34
1. Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin
timbul, pengadilan dapat menyatakan satu atau Iebih tambahan kondisi dalam
perintah perlindungan.
2. Dalam pemberian tambahan kondisi dalam
perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari
korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau
pembimbing rohani.
Pasal 35
1. Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya
melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah
melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan
di tempat polisi itu bertugas.
2. Penangkapan dan penahanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan surat perintah penangkapan dan penahanan
setelah 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.
3. Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap
penahanan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 36
1. Untuk memberikan perlindungan kepada korban,
kepolisian dapat menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena
telah melanggar perintah perlindungan.
2. Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilanjutkan dengan penahanan yang disertai surat perintah penahanan
dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.
Pasal 37
1. Korban, kepolisian atau relawan pendamping
dapat mengajukan laporan secara tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap
perintah perlindungan.
2. Dalam hal pengadilan mendapatka: aporan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku diperintahkan menghadap
dalam waktu 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam guna dilakukan pemeriksaan.
3. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan oleh pengadilan di tempat pelaku pernah tinggal bersama korban
pada waktu pelanggaran diduga terjadi.
Pasal 38
1. Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku
telah melanggar perintah perlindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran
lebih lanjut, maka Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan
tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan.
2. Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan
surat pernyataan tertulis tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 hari.
3. Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disertai dengan surat perintah penahanan.
BAB VII
PEMULIHAN KORBAN
PEMULIHAN KORBAN
Pasal 39
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:
a. Tenaga kesehatan;
b. Pekerja sosial;
c. Relawan pendamping; dan/atau
d. Pembimbing rohani.
Pasal 40
1. Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai
dengan standar profesinya.
2. Dalam hal korban memerlukan perawatan,
tenaga kesehatan wajib memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.
Pasal 41
Pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani wajib memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi korban.
Pasal 42
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja sama.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyeienggaraan upaya pemulihan dan kerja sama diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani wajib memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi korban.
Pasal 42
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja sama.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyeienggaraan upaya pemulihan dan kerja sama diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
KETENTUAN PIDANA
Pasal 44
1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan. fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 45
1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 46
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua betas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua betas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 48
Dalam hat perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima betas juta rupiah), setiap orang yang:
a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).
Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pembatasan gerak pelaku balk yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.
Pasal 51
Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan.
Pasal 52
Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan.
Pasal 53
Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan.
1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan. fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 45
1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 46
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua betas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua betas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 48
Dalam hat perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima betas juta rupiah), setiap orang yang:
a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).
Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pembatasan gerak pelaku balk yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.
Pasal 51
Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan.
Pasal 52
Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan.
Pasal 53
Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 54
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Pasal 55
Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Pasal 55
Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan menempatkannya dalam Lembaga Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan menempatkannya dalam Lembaga Negara Republik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar