BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI PATRIARKI
Patriarki
berasal dari kata patri-arkat, berarti struktur yang me-nempatkan peranlaki-laki
seba-gai penguasa tunggal, sentral dari segala-galanya.Jadi budaya Patriarki
adalah budaya yang dibangun di atas dasar struktur dominasi dan sub ordinasi
yang mengharuskan suatu hirarki dimana laki-laki dan pandangan laki-laki
menjadi suatu norma. Pandangan dengan pedekatan socio antropologi, juga
meramaikan kajian tentang posisi laki-laki.
Rueda mengatakan bahwa patriarki adalah
penyebab penindasan terhadap perempuan (2007: 120). Masyarakat yang menganut
sistem patriarki meletakkan laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang dominan
dibandingkan perempuan. Laki-laki dianggap memiliki kekuatan lebih dibandingkan
perempuan. Di semua lini kehidupan, masyarakat memandang perempuan sebagai
seorang yang lemah dan tidak berdaya. Menurut Masudi seperti yang dikutip
Faturochman, sejarah masyarakat patriarki sejak awal membentuk peradaban
manusia yang menganggap bahwa laki-laki lebih kuat (superior) dibandingkan
perempuan baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bernegara.
Kultur patriarki ini secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku, status,
dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang kemudian menjadi
hirarki gender (2002: 16).
Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai
awal pembentukan budaya patriarki. Masyarakat memandang perbedaan biologis
antara keduanya merupakan status yang tidak setara. Perempuan yang tidak
memiliki otot dipercayai sebagai alasan mengapa masyarakat meletakkan perempuan
pada posisi lemah (inferior). Ideologi patriarki dikenalkan kepada
setiap anggota keluarga, terutama kepada anak. Anak laki-laki maupun perempuan
belajar dari perilaku kedua orang tuanya mengenai bagaimana bersikap, karakter,
hobi, status, dan nilai-nilai lain yang tepat
dalam masyarakat. Perilaku yang diajarkan kepada anak
dibedakan antara bagaimana bersikap sebagai seorang laki-laki dan perempuan.
Ideologi patriarki sangat sulit untuk dihilangkan dari
masyarakat karena masyarakat tetap memeliharanya. Stereotip yang melekat kepada
perempuan sebagai pekerja domestik membuatnya lemah karena dia tidak
mendapatkan uang dari hasil kerjanya mengurus rumah tangga. Pekerjaan domestik
tersebut dianggap remeh dan menjadi kewajibannya sebagai perempuan.
B.
DEFINISI GENDER
Sejak dua dasawarsa terakhir, konsep gender memasuki bahasan
dalam berbagai seminar, diskusi maupun tulisan di seputar perubahan sosial dan
pembangunan dunia ketiga. Istilah gender lazim dipergunakan dikantor Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan sejak beberapa tahun lalu. Sekalipun demikian
kebanyakan orang masih belum memahami gender dengan pemahaman yang benar.
Sebab, dalam kamus bahasa Indonesia antara gender dengan seks belum mempunyai
perbedaan pengertian yang transparan. Kata "gender" banyak dipergunakan
dengan kata yang lain, seperti ketidakadilan, kesetaraan dan sebagainya,
keduanya sulit untuk diberi pengertian secara terpisah. Nasaruddin Umar1
memberikan pengertian gender sebagai suatu konsep yang digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial
budaya. Gender dalam arti tersebut mengidentifikasikan laki-laki dan perempuan
dari sudut nonbiologis. Agar memudahkan dalam memberikan pegertian gender
tersebut, pengertian gender dibedakan dengan pengertian seks (Jenis Kelamin).
Pengertian jenis kelamin merupakan penafsiran atau pembagian dua jenis kelamin
manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin
tertentu, dengan (alat) tanda-tanda tertentu pula. Alat-alat tersebut selalu
melekat pada manusia selamanya, tidak dapat dipertukarkan, bersifat permanen,
dan dapat dikenali semenjak manusia lahir. Itulah yang disebut dengan ketentuan
Tuhan atau kodrat. Dari sini melahirkan istilah identitas jenis
kelamin.
Gender melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan,
dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya perempuan itu dikenal
lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat,
rasional, jantan perkasa. Ciri dari sifat itu merupakan sifat-sifat yang
dimiliki oleh kedua belah fihak. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah
lembut, dan keibuan. Sementara itu juga, ada perempuan yang kuat, 3 rasional
dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke
waktu dan dari tempat ke tempat yang lain.2 Dari sini melahirkan istilah identitas
gender. Perbedaan gender (gender differences) antara manusia
laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang panjang. Pembentukan gender
ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, kemudian disosialisasikan,
diperkuat, bahkan di konstruk melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh
interpretasi agama dan mitos-mitos, seolah-olah telah menjadi keyakinan. Proses
selanjutnya perbedaan gender dianggap suatu ketentuan Tuhan yang tidak dapat
diubah sehingga perbedaan tersebut dianggap kodrati. Untuk memahami perbedaan
antara seks dan gender dapat dilihat pada tabel berikut ini:
IDENTIFIKASI
|
LAKI-LAKI
|
PEREMPUAN
|
SIFAT
|
KATEGORI
|
Ciri biologis
|
Penis Jakun Spirma
|
Vagina Payudara (ASI) Ovum Rahim
Haid Hamil melahirkan Menyusui
|
Tetap, tidak dapat dipertukarkan. Kodrati Pemberian Tuhan.
|
JENIS KELAMIN/ SEKS
|
Sifat/karakter
|
Rasional Kuat Cerdas Pemberani Superior Maskulin
|
Emosional Lemah Bodoh Penakut
Inferior Feminin
|
Ditentukan oleh masyarakat. Disosialisasikan. Dimiliki oleh
laki-laki dan perempuan. Dapat berubah sesuai kebutuhan
|
GENDER
|
Peran
|
Kepala keluarga Pencari nafkah Pemimpin Direktur Kepala
kantor Pilot Dokter Sopir Mandor
|
Ibu rumah tangga Manajemen rumah
tangga Dipimpin Sekretaris Pramugari Perawat Pembantu rumah tangga Buruh
|
Konstruk masyarakat Dapat berubah sesuai kebutuhan
|
GENDER
|
Tabel 1Perbedaan SEX DAN GENDER
Jenis Kelamin adalah : Perbedaan antara laki-laki dan
perempuan yang ditentukan oleh perbedaan biologis yang melekat pada keduanya.
(Jenis Kelamin : tafsir sosial atas perbedaan biologis laki-laki dan
perempuan). Gender adalah : Perbedaan peran, fungsi dan tanggung
jawab antara perempuan dan laki-laki yang dihasilkan dari konstruksi sosial
budaya dan dapat berubah sesui dengan perkembangan zaman. (Gender: Jenis
kelamin Sosial) Perbedaan jenis kelamin sering dipergunakan masyarakat
untuk mengkonstruk pembagian peran (kerja) laki-laki dan perempuan atas dasar
perbedaan tersebut. Pada pembagian kerja gender atas jenis kelamin di mana
laki-laki dan perempuan melakukan jenis pekerjaan yang berbeda dan pembagian
ini dipertahankan serta dilakukan secara terus menerus. Pembagian kerja
berdasar gender tidak menjadi masalah selama masing-masing pihak tidak
merugikan atau dirugikan. Namun dalam realitas kehidupan telah terjadi
perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan di atas melahirkan perbedaan
status sosial di masyarakat, di mana laki-laki lebih diunggulkan dari perempuan
melalui konstruksi sosial. Untuk lebih jelas dapat dibandingkan pada peran
sosial, sifat kegiatan dan jenis pekerjaan sebagaimana tabel di bawah ini:
Perbedaan
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
Peran
Sosial
|
Organisasi politik Pencari nafkah
utama Pelindung keluarga Pengambil keputusan/kebijakan
|
Komunitas
setempat (arisan, PKK, Keluarga, Pengajian) Pencari nafkah tambahan/
pengganti Perawat, pendidik anak
|
Sifat
Kegiatan
|
Publik
Produktif Berupa lebih besar Membutuhkan keterampilan terlatih/ terdidik
Membutuhkan manajemen modern Melibatkan teknologi Melibatkan aspek kekuasaan
lebih besar Sektor formal
|
Domestik Bersifat
produktif Tidak berupah/ rendah Dianggap alamiah Manajemen sederhana
Penggunaan teknologi terbatas Penerimaan kekuasaan Sektor informal
|
Pekerjaan
|
Dosen Manager Dokter Teknisi
mekanik Pilot Atlet Polisi Direktur
|
Pekerja rumah
tangga Buruh Baby sitter Guru TK Publik relation Bidan/ Perawat Dokter anak
Resepsionis
|
Tabel 2 Perbedaan Peran sosial, sifat kegiatan dan jenis pekerjaan
Berdasarkan Jenis Kelamin
C. RAGAM
PEMAKNAAN GENDER
1. Gender
sebagai istilah asing dengan makna tertentu
Perbedaan manusia berdasar jenis kelamin (sex) dikenal
sebagai sexual differentiation, pembedaan seksual. Sedang "gender"
sebagai istilah adalah hasil atau akibat dari pembedaan atas dasar jenis
kelamin tersebut. Pada konteks ini sering terjadi perbedaan persepsi karena
gender berasal dari bahasa asing yang sulit dicari padan katanya. Berbeda
dengan kata ”demokrasi”, ”politik”, ekonomi dan sebagainya mudah untuk diterima
karena tidak menimbulkan dampak pada terusiknya status dan peran laki-laki yang
sejak semula telah diunggulkan oleh konstruk budaya. Sehingga tidak heran
ketika perempuan sendiri sering menolak ”gender” karena dianggap melampaui tatanan
kehidupan dalam masyarakat.
2. Gender
sebagai fenomena sosial-budaya
Gender sebagai fenomena sosial berarti sebab akibat atau
implikasi sosial (kemasyarakatan) yang muncul dalam masyarakat karena pembedaan
yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan.
Akibat - akibat sosial ini bisa berupa pembagian kerja, sistem penggajian,
proses sosialisasi dan sebagainya. Gender sebagai fenomena budaya berarti
akibat-akibat atau implikasi dalam budaya (yaitu pada pola dan isi pemikiran)
yang muncul dalam masyarakat karena adanya klasifikasi dualistis yang
didasarkan pada perbedaan antara laki dan perempuan.
3. Gender
sebagai kesadaran sosial
Gender juga perlu dipahami sebagai kesadaran sosial. Setiap
orang yang mengetahui ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak selalu
menyadari bahwa hal itu merupakan sesuatu yang bersifat sosial maupun kultural.
Gender sebagai kesadaran sosial adalah kesadaran di kalangan warga masyarakat
bahwa hal-hal yang berasal atau diturunkan dari pembedaan antara laki-laki dan
perempuan adalah hal-hal yang bersifat sosial budaya atau merupakan sesuatu
yang dibentuk oleh tatanan. Disini warga masyarakat mulai menyadari bahwa
pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan misalnya bukanlah sesuatu yang
alami, yang telah "ditakdirkan", yang diterima begitu saja, tetapi
merupakan produk sejarah adaptasi atau hubungan masyarakat dengan lingkungan.
4. Gender
sebagai persoalan sosial budaya
Pembedaan laki-laki dan perempuan bukan merupakan masalah
bagi kebanyakan orang, tetapi pembedaan ini menjadi masalah ketika menghasilkan
ketidaksetaraan, dimana laki-laki memperoleh dan menikmati kedudukan yang lebih
baik dan menguntungkan daripada perempuan. Jadi yang menjadi persoalan bukan
hanya perbedaan laki-laki dan perempuan. Lebih jauh, pembedaan laki-laki dan
perempuan telah menjadi landasan ketidaksetaraan tersebut, karena masyarakat
memandang perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Gender sebagai persoalan
sosial-budaya adalah ketidaksetaraan gender yang menghasilkan pelbagai bentuk
ketidakadilan dan penindasan berdasar jenis kelamin dan perempuan merupakan
pihak yang lebih rentan sebagai korban. Semuanya ini merupakan kenyataan yang
dibentuk oleh tatanan sosial, budaya dan sejarah, karena itu sebenarnya dapat
dan perlu dirubah. Perubahan ini tentu saja tidak mudah, karena untuk dapat
melakukannya diperlukan analisis serta penarikan kesimpulan yang tepat.
Disinilah gender sebagai alat analisis menjadi penting peranannya.
5. Gender
sebagai sebuah konsep untuk analisis
Dalam ilmu sosial, defisini gender tidak lepas dari
asumsi-asumsi dasar yang ada pada sebuah paradigma, dimana konsep analisis
merupakan salah satu komponennya. Asumsi-asumsi dasar itu umumnya, merupakan
pandangan-pandangan filosofis dan juga ideologis. Yang menjadi persoalan,
definisi mana yang akan digunakan? misalnya, konsep gender didefinisikan
sebagai hasil atau akibat dari pembedaan atas dasar jenis kelamin atau yang
lainnya, sesuai dengan paradigma yang digunakan dalam penelitian. Gender sebagai
konsep untuk analisis merupakan gender yang digunakan oleh seorang ilmuwan
dalam mempelajari gender sebagai fenomena sosial budaya
6. Gender
sebagai sebuah perspektif untuk memandang suatu realitas gerakan
Dalam term ini, gender menjadi sebuah paradigma atau kerangka
teori lengkap dengan asumsi dasar, model, dan konsep-konsepnya. Seorang
peneliti menggunakan ideologi gender untuk mengungkap pembagian peran atas
dasar jenis kelamin serta implikasi-implikasi sosial budayanya, termasuk
ketidakadilan yang ditimbulkannya. Penelitian yang dilakukan dengan perspektif
gender akan menonjolkan aspek kesetaraan dan kadang-kadang menjadi bias
perempuan, karena kenyataan menuntut demikian. Misalnva apakah
kategori-kategori dalam kehidupan dimasyarakat menimbulkan ketidakadilan
gender?, bagian-bagian mana saja?, dan pihak mana yang lebih diuntungkan? Dalam
hal ini, peneliti dituntut untuk memiliki sensitivitas gender yang baik.
D. KETIMPANGAN
GENDER DAN KONSTRUKSI SOSIAL BUDAYA
Setelah diketahui perbedaan pengertian seks dan pengertian
gender maka muncul satu pertanyaan, mengapa perbedaan seks menyebabkan
perbedaan gender? Telaah lebih lanjut dalam persoalan ketidakadilan gender
mengacu pada konstruksi sosial yang dibangun di atas budaya patriarki yang
tertanam kuat dalam masyarakat secara luas. Perbedaan gender selanjutnya
melahirkan peran gender yang sesungguhnya tidak menjadikan masalah jika
seandainya tidak terjadi ketimpangan yang berakhir pada ketidakadilan gender.
Peran gender (gender role) tersebut kemudian diterima
sebagai ketentuan sosial, bahkan oleh masyarakat diyakini sebagai kodrat.
Ketimpangan sosial yang bersumber dari perbedaan gender itu sangat merugikan
posisi perempuan dalam berbagai komunitas sosialnya. Akibatnya ketidakadilan
gender tersebut antara lain : 1) marginalisasi perempuan, 2) penempatan
perempuan pada subordinat, 3) stereotype perempuan, 4) kekerasan (violence) terhadap
perempuan, dan 5) beban kerja tidak proposional.3
1. Stereotype
Perempuan Stereotype adalah pelabelan terhadap kelompok suku
bangsa tertentu yang selalu berkonotasi negatif sehingga sering merugikan dan
timbul ketidakadilan. Pelabelan atau penandaan yang terkait dengan perbedaan
dengan jenis kelamin tertentu (perempuan) akan menimbulkan kesan yang negatif
yang merupakan keharusan disandang oleh perempuan.
2. Sub
Ordinasi Perempuan
Sebuah pandangan yang tidak adil terhadap perempuan dengan
anggapan dasar bahwa perempuan itu irasional, emosional, lemah, dan
lain-lainnya, menyebabkan penempatan perempuan dalam peran-peran yang dianggap
kurang penting. Potensi perempuan sering dinilai tidak fair oleh sebagian besar
masyarakat akibat sulitnya mereka menembus posisi-posisi strategis dalam
komunitasnya, terutama yang berhubungan dengan peran pengambilan keputusan.
3. Marginalisasi
Perempuan
Proses marginalisasi terhadap pcrempuan dapat terjadi karena
program industrialisasi. Program tersebut menyebabkan terpinggirkannya peran
perempuan. Semula, mereka menjadi salah satu sumber daya manusia, akibat
diterapkannya teknologi canggih, misalnya mengganti tenaga bagian linting
rokok, pengepakan dan proses produksi dalam suatu perusahaan dengan mesin-mesin
yang lebih praktis dan ekonomis, kemudian alat-alat produksi tersebut hanya
diperankan oleh laki-laki. Selain itu, mesin-mesin potong padi menggantikan
pekerjaan ani-ani yang semula diperankan oleh perempuan, kemudian diganti
dengan sabit karena jenis padi yang ditanam harus menggunakan sabit, di mana
sabit menjadi alat kerja laki-laki, maka mengetam padi berubah menjadi peran
laki-laki sehingga perempuan kehilangan pekerjaan. Marginalisasi itu merupakan
proses pemiskinan perempuan terutama pada masyarakat lapis bawah. Demikian pula
marginalisasi dalam lingkungan keluarga biasa terjadi di tengah masyarakat.
Misalnya, anak laki-laki memperoleh fasilitas, kesempatan dan hak-hak yang lebih
dari pada anak perempuan.
4. Beban
Kerja yang Tidak Proposional
Budaya patriarki beranggapan bahwa perempuan tidak punya hak
untuk menjadi pemimpin rumah tangga. Sebaliknya, ia berhak untuk diatur.
Pekerjaan domestik yang dibebankan kepadanya menjadi identik dengan dirinya
sehingga posisi perempuan sarat dengan pekerjaan yang beragam macamnya, dalam
waktu yang tidak terbatas dan dengan beban yang berlipat, misalnya: memasak,
mencuci, menyetrika, menjaga kebersihan kerapian rumah, membimbing belajar
anak-anak dan sebagainya. Pekerjaan domestik yang berat tersebut dilakukan
bersama-sama dengan fungsi reproduksi, haid, hamil, melahirkan, dan menyusui.
Sementara laki-laki dengan peran publiknya menurut kebiasaan masyarakat (konstruk
sosial) tidak bersentuhan dengan beban kerja domestik-reproduktif, karena
pekerjaan ini dipandang hanya layak dikerjakan oleh perempuan. Pembagian kerja
secara dikotomi publik-domestik, di mana pekerjaan di sektor publik mendapat
imbalan secara ekonomis, sedangkan sektor publik tidak mendapatkan. Hal itu
menyebabkan hasil kerja perempuan yang terlalu berat dianggap pekerjaan rendah.
Realitas tersebut memperkuat ketidakadilan gender yang telah melekat dalam
kultur masyarakat.
5. Kekerasan
(Violence) 'I'erhadap Perempuan
Salah satu bentuk ketidakadilan gender adalah kekerasan
terhadap perempuan baik yang berbentuk kekerasan fisik, psikis, ekonomi maupun
seksual. Kekerasan itu timbul akibat beberapa faktor di atas, termasuk anggapan
bahwa laki-laki pemegang supermasi dan dominasi terhadap berbagai sektor
kehidupan. Fenomena itu oleh masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang sangat
wajar jika perempuan menerima perlakuan tersebut. Kekerasan fisik misalnya
pemukulan, penganiayaan dan pembunuhan. Kekerasan psikis seperti penghinaan,
sikap, ungkapan melalui verbal atau perkataan yang dapat menyebabkan sakit hati
dan hal-hal yang dapat menimbulkan rasa tidak nyaman. Kekerasan seksual seperti
pelecehan seksual, pencabulan, pemerkosaan, eksploitasi seksual pada dunia
kerja, pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi dan pengrusakan organ reproduksi.
E.
KESETARAN DAN KEADILAN GENDER
Untuk mewujudkan relasi gender yang berkeadilan sedapat
mungkin menghilangkan kesenjangan hubungan dan pembagian kerja antara laki-laki
dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan dengan memperhatikan kodrat,
harkat, dan martabatnya. Lebih lanjut, diketahui pula latar belakang kondisi
dan masalah yang menjadi penyebabnya dengan menggunakan teknik analisis gender.
Teknik analisis gender dikembangkan di Indonesia dimaksudkan untuk mengetahui
kesenjangan serta ketimpangan gender dalam proses pembangunan. Dengan
mengetahui kesenjangan dan ketimpangan serta latar belakang munculnya dapat
dijadikan dasar arah pemberdayaan perempuan agar kesetaraan gender terwujud
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara pandang yang demikian, pemberdayaan
perempuan tidak dilandasi oleh sikap atau keinginan untuk menciptakan
persaingan yang tidak sehat, tetapi kompetisi yang berkeadilan yang diharapkan
karena pada hakekatnya laki-laki dan perempuan potensial untuk sama-sama
berusaha dan berprestasi baik mandiri maupun bekerja sama lintas gender.
Kesetaran gender (gender equity) adalah suatu proses
yang ditempuh untuk menghantarkan laki-laki dan perempuan secara dinamis untuk
memperoleh akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat dalam aktifitas kehidupan
baik dalam keluarga, masyarakat maupun berbangsa dan bernegara. Untuk itu
diperlukan upaya untuk memperbaiki kondisi secara kualitas maupun kemampuan
bagi kelompok yang tertinggal baik perempuan maupun laki-laki melalui affirmative
action. Keadilan gender (gender equality) adalah suatu kondisi yang
setara, selaras, seimbang, serasi, tanpa diskriminasi. Suatu kondisi yang sama
antara laki-laki dan perempuan dalam mencapai hak-hak dasar dalam lingkup
keluarga, masyarakat, negara dan dunia internasional. Kesamaan pemenuhan
hak-hak dasar akan meningkatkan kualitas dan martabat kemanusiaan laki-laki
Perempuan secara adil.
Affirmative action adalah suatu tindakan khusus yang
dilakukan untuk mendorong upaya kesetaraan gender menuju keadilan gender dengan
lebih memperhatikan jenis kelamin tertentu yang sedang mengalami ketertinggalan
dan ketidakadilan melalui jalur struktural seperti menetapkan Undang-undang,
Peraturan Pemerintah, Instruksi Presiden, Peraturan Daerah, Anggaran Dasar/
Anggaran Rumah Tangga Organisasi atau policy dari pengambil kebijakan atau
sejenisnya. Dalam hal ini negara berperan dalam upaya terwujudnya keadilan
gender melalui tindakan affirmative action. Misalnya memberikan cuti
haid, hamil, melahirkan untuk melaksanakan peran reproduksi perempuan sebagai
amanat Tuhan yang harus dihormati oleh setiap manusia. Penyediaan penitipan
anak agar ibu yang bekerja dapat memberikan ASI pada jam-jam tertentu.
Menetapkan kuota bagi perempuan dalam partisipasi politik, memberikan beasiswa
pada anak perempuan atau laki-laki putus sekolah karena membantu bekerja
mencari nafkah keluarga. Affirmative action juga ditempuh melalui jalur
kultural, misalnya melakukan perubahan pola pikir yang dimulai dari kajian
akademis dengan memperhatikan keperpihakan terhadap fihak jenis kelamin
tertentu yang sedang mengalami ketertingalan dan diskriminasi dengan
menggunakan analisis gender. Hasil kajian tersebut kemudian diimplementasikan
dalam kehidupan agar dapat merubah persepsi dan perilaku masyarakat menuju
keadilan gender. Kesetaraan yang berkeadilan gender adalah kondisi yang
dinamis, dimana laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak, kewajiban,
peranan, dan kesempatan yang dilandasi oleh saling menghormati dan menghargai
serta membantu di berbagai sektor. Untuk mengetahui apakah laki-laki dan
perempuan telah setara dan berkeadilan, dapat dilihat pada :
1. Seberapa
besar akses dan partisipasi atau keterlibatan perempuan terhadap peran-peran sosial
dalam kehidupan baik dalam keluarga masyarakat, dan dalam pembangunan.
2. Seberapa
besar kontrol serta penguasaan perempuan dalam berbagai sumber daya manusia
maupun sumber daya alam dan peran pengambilan keputusan dan lain sebagainya.
3. Seberapa
besar manfaat yang diperoleh perempuan dari hasil pelaksanaan berbagai kegiatan
baik sebagai pelaku maupun sebagai pemanfaat dan penikmat hasilnya.
Menyadari pentingnya mewujudkan keadilan gender dewasa ini
fokus penanganannya tidak hanya melibatkan perempuan, tetapi lebih ditujukan
kepada keduanya (laki-laki dan perempuan) yang kemudian dikenal dengan istilah
"relasi gender". Dari relasi yang berkeadilan gender akan muncul
peran-peran "komunitas" antara keduanya yang dapat dilakukan sepanjang
tidak melampaui kodrat keduanya, baik peran domestik maupun peran publik,
misalnya merawat dan mendidik anak, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mencari
nafkah, pengambilan keputusan, dan sebagainya. Untuk menuju kesetaraan dan
keadilan gender diperlukan sosialisasi di tingkat personal agar memiliki
sensitivitas gender, yakni suatu sikap dan perilaku yang tanggap dan peka
terhadap adanya kesenjangan gender dengan memberi kesempatan dan peluang yang
sama untuk mencapai kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan. Sosialisasi pada
level institusional diperlukan untuk mewujudkan responsibilitas gender melalui
produk hukum dan kebijakan yang ditetapkan berdasarkan analisis gender,
misalnya menggunakan strategi Pengarusutamaan Gender (PUG) dengan teknik Gender
Analysis Pathway (GAP) Pengarusutamaan gender adalah salah satu strategi
untuk memasukkan isu dan pengalaman perempuan dan laki-laki ke dalam suatu
dimensi yang integral dalam rancangan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi
kebijakan dan program dalam setiap bidang agar perempuan dan laki-laki mendapat
manfaat yang sama. PUG merupakan pendekatan untuk mengembangkan kebijakan
pembangunan yang mengintegrasikan pengalaman dan masalah perempuan dan
laki-laki ke dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi
kebijakan dan program pembangunan. PUG bertujuan terselenggaranya perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program
dalam pembangunan nasional yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan
kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Sedangkan GAP merupakan salah satu alat analisis gender yang
dapat membantu para perencana dalam melakukan pengarusutamaan gender dalam
perencanaan kebijakan atau program pembangunan. Metode ini dimaksudkan untuk
mengetahui kesenjangan gender dengan melihat aspek akses, partisipasi, kontrol
dan manfaat program-program pembangunan. Dan berguna pula untuk
mengidentifikasi kesenjangan gender dan permasalahan gender serta sekaligus
menyusun rencana/kebijakan/program/proyek/ kegiatan yang ditujukan untuk
memperkecil atau menghapus kesenjangan gender tersebut. Sosialisasi gender
melalui jalur struktural yang dipandang lebih efektif adalah melalui
pendidikan, yakni dengan menintegrasikan ke dalam manajemen pendidikan
responsif gender, pembelajaran inklusif gender dan didukung pula oleh kebijakan
pendidikan yang responsif gender. Pembelajaran inklusif gender adalah
pembelajaran dengan mengintegrasikan gender ke dalam materi/bahan ajar yang
berkesetaraan dan keadilan gender dengan menggunakan metode pembelajaran yang
menghindari terjadinya diskriminasi gender. Demikian pula dengan melalui
strategi yang sama juga berlaku pada materi dan metode penyampaian pesan-pesan
keagamaan inklusif gender yang dilakukan oleh pemuka agama. Hal ini penting
artinya dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender melalui jalur kultural
yang dinilai lambat tapi terintegrasi langsung dalam kehidupan sehari-hari di
masyarakat.
F. HAMBATAN
KONSTRUKSI KESETARAAN GENDER
Masalah sulitnya membangun kesetaraan dan keadilan gender
baik melalui jalur struktural maupun kultural tidak lepas dari lima hal
tersebut di atas (stereotype, subordinasi, marjinalisasi, beban berlipat
dan kekerasan terhadap perempuan), yang terus menerus berlangsung karena
terdapat legitimasi yang menjadi hambatan dalam membangun kesetaraan dan
keadilan gender tersebut. Sumber legitimasi dimaksud adalah: (1). Legitimasi
sosial budaya, dan (2) Peraturan perundang-undangan dan kebijakan dan program
pembangunan yang masih bias gender.
1. Legitimasi budaya
dalam konstruksi gender
Dalam membahas status dan peran laki-laki dan perempuan,
masyarakat mengenal dua bentuk budaya yaitu patriarkhi atau patrilineal dan
matriarkhi atau matrilineal. Pada budaya patriarkhi misalnya budaya Batak,
lebih mengunggulkan laki-laki dari pada perempuan, sedangkan pada budaya
matriarkhi misalnya budaya Minangkabau lebih mengunggulkan perempuan. Kedua
budaya tersebut sama-sama tidak menguntungkan kedua belah fihak karena salah
satu memiliki status, peran, kekuasaan, wewenang dan hak-hak yang lebih dominan
dari jenis kelamin lainnya.
Kondisi demikian ini berdampak pada relasi yang tidak setara,
dan rentan terjadinya ketidakadilan sosial berbasis gender di masyarakat, dan
jika ditinjau dari analisis gender mencerminkan adanya kesenjangan antara
laki-laki dan perempuan. Ungkapan yang menjadi sebuah keyakinan atau mitos
misalnya, istri itu swargo nunut neraka katut, konco wingking, dan
sejumlah mitos yang dikaitkan dengan peran reproduksi perempuan yang bersifat
kodrati, misalnya menstrual taboo masih ada di masyarakat. Demikian pula
praktek ritus-ritus di masyarakat, upacara-upacara keagamaan yang didominasi
laki-laki karena status perempuan dalam agama dan kepercayaan dipandang tidak
setara dengan laki-laki. Hal ini turut mendukung ketidaksetaraan antara
laki-laki dan perempuan, yang kemudian menjadi ideologi yang sulit untuk
dirubah. Masuknya gender ke dalam masyarakat dengan budaya demikian ini
mengalami persoalan tersendiri, karena dianggap menghancurkan tatanan kehidupan
yang telah mapan. Realitas kehidupan di masyarakat selalu mengalami perubahan
seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun norma-norma yang
berlaku di masyarakat berkembang lambat, bahkan stagnan, artinya masyarakat
mengalami perubahan perilaku yang berdampak pada ketimpangan gender di
masyarakat seperti kekerasan, peran pencari nafkah, perubahan status karena
akses pendidikan telah terbuka untuk perempuan, tetapi norma yang menyertai
perubahan tersebut kurang adaptatif. Fenomena demikian ini nampak dalam
kehidupan, misalnya perempuan pencari nafkah utama dalam keluarga masih
berstatus sebagai pembantu suami. TKW yang bekerja di luar negeri telah menjadi
realitas jika mengalami masalah, norma berbicara bahwa kesalahan pada perempuan
itu sendiri yang menyalahi fungsi utamanya sebagai ibu rumah tangga di ranah
domestik. Sama halnya dengan perubahan status dan peran laki-laki dan perempuan
di masyarakat, gender seharusnya tidak hanya dipandang sebagai fenomena sosial
dan kesadaran sosial, tetapi telah memasuki ranah problem sosial dan juga alat
analisis untuk merumuskan kembali norma-norma yang berkembang di masyarakat
agar laki-laki dan perempuan memperoleh keadilan dalam kehidupan di masyarakat.
Perubahan norma yang diawali dengan perubahan persepsi individu maupun kolektif
tidak selamanya berjalan maju dan mulus tanpa hambatan. Untuk membangun
kesetaraan dan keadilan gender ini mengalami fluktuasi sejalan dengan kondisi
sosial, politik, dan ekonomi yang sedang berlangsung. Untuk itu gender harus
terus menerus disosialisasikan dalam semua kondisi, di manapun, oleh dan kepada
siapapun, dan kapanpun.
2. Peraturan
Perundang-Undangan, Kebijakan Dan Program Pembangunan Yang Masih Bias Gender
Pemerintah secara resmi telah menganut dan secara resmi pula menetapkan
atas persamaan antara perempuan dan laki-laki sebagaimana termuat dalam UUD 45
pasal 27. Ketentuan ini sebagai dasar untuk memberikan akses, partisipasi dan
kontrol bagi perempuan dan laki-laki dalam bidang ekonomi, sosial dan politik.
Dan dengan ini pula Indonesia kemudian meratifikasi sejumlah konvensi
Internasional tentang penghapusan diskriminasi dan peningkatan status
perempuan. Demikian pula sejumlah perundang- undangan dan kebijakan di
Indonesia telah menjamin terwujudnya kesetaraan gender antara lain:
a. Kepres
No. 129/1998 Program Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia (1998-2001).
b. Inpres
No.9/2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional.
c. Kepres
No. 45/1998 Panduan Implementasi dari Penyeleng-garaan Kemajuan Perempuan dalam
Pembangunan di Tk. Nasional.
d. GBHN
PROPENAS 2000-2004
e. PROPENAS
2000-2004
f. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009
g. UU
No. 23/2004 Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga (PKDRT)
h. Inpres
No. 17/1996 Panduan Teknis untuk Implementasi Manajemen Program Kemajuan
Perempuan di Tingkat Sub Nasional.
i. Menaker
(04/MEN/88) tentang Implementasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap
Pekerjaan Perempuan, yang juga mencakup kesetaraan batas usia pensiun,
kesetaraan tanggungan medis, penggunaan air susu ibu, peraturan cuti hamil, dan
perlindungan kesehatan pekerjaan perempuan.
Namun demikian perundang-undangan dan kebijakan tersebut
dalam pelaksanaannya masih belum efektif. Secara ideal Undang-undang diciptakan
dengan tujuan agar kehidupan menjadi teratur dan melindungi segenap masyarakat.
Untuk dapat mengetahui sistem kerja hukum sebagai proses, terdapat tiga
komponen, yaitu:
1.
Komponen struktur (Structure of legal system)
terdiri dari institusi pembuat undang-undang, institusi pengadilan dengan
strukturnya, institusi kejaksaan dengan dengan strukturnya dan badan kepolisian
negara yang berfungsi sebagai aparat penegak hukum.
2. Komponen
substansi (Substance of legal system) berupa peraturan-peraturan hukum
dan keputusan yang dihasilkan pengadilan dan pembentuk undang-undang serta
pemerintah.
3. Komponen
kultur (Culture of legal system) terdiri dari seperangkat nilai-nilai
dan sikap-sikap yang berkaitan dengan hukum 7. Substansi hukum merupakan materi
hukum yang disusun dengan mempertimbangkan berbagai dimensi, seperti budaya,
adat istiadat, ajaran agama, ekonomi, politik dan kondisi masyarakat.
Namun demikian substansi hukum disusun tidak lepas pula
dengan kepentingan siapa yang menyusunnya. Diantara faktor yang mempengaruhi
hukum adalah faktor hukumnya sendir, yang dibatasi oleh undang-undang saja.
Semakin baik suatu peraturan akan semakin memungkinkan penegakannya.
Sebaliknya, semakin tidak baik suatu peraturan hukum akan semakin sukarlah
penegakannya. Suatu peraturan hukum yang baik adalah peraturan hukum yang
berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis. Jika subtansi hukum secara
eksplisit maupun implisit menunjukkan bias gender, maka struktur hukum sebagai
pelaksana penegakan hukum lebih sulit untuk bersikap setara dan adil gender.
Dalam konteks ini lebih parah lagi jika aparat penegak hukum tidak memiliki
sensitifitas gender. Kemudian masih dipertanyakan pula apakah budaya hukum
telah berperan mendukung terwujudnya penegakan hukum secara konsekwen?. Karena
itu tidak heran jika terjadi kasus-kasus ketidakadilan gender, di mana
perempuan yang mayoritas menjadi korban menemukan hambatan serius dalam mencari
keadilan. Hal ini merupakan bukti riil bahwa penegakan hukum dan budaya hukum
yang dibangun oleh masyarakat masih belum mendukung secara maksimal
Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagian masih mencerminkan
bias gender, misalnya suami sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah,
sedangkan istri sebagai ibu rumah tangga. Pembagian kerja dan status yang rigid
ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi, karena istri yang menghidupi dirinya
dan keluarganya jumlahnya di Indonesia cukup signifikan. Pembagian inipun tidak
menguntungkan kedua belah fihak. Pemaksaan semua suami sebagai pemimpin
keluarga dan pencari nafkah utama tanpa memperhatikan kualifikasi yang
berbeda-beda, sedangkan istri yang menjadi single parent, sering dipandang
masyarakat tidak berkepala keluarga, akses dan partisipasinya dalam kehidupan
tidak sebagaimana suami yang secara eksplisit disebutkan dalam undang-undang.
Dalam UU Perkawinan khususnya yang menyangkut aturan poligami berdampak pada
kekerasan terhadap perempuan.
Sejumlah UU yang masih diskriminatif terhadap perempuan,
antara lain: UU tentang Kewarganegaraan Nomor 62 tahun 1958, pemerintah
menetapkan apa yang disebut dengan doktrin kesatuan hukum (One person in the
law doctrine), di mana suami atau bapak menjadi rujukan utama yang
digunakan untuk menentukan kewarganegaraan anak-anaknya. Demikian pula tentang
sistem pengupahan tenaga kerja perempuan, tunjangan keluarga dan tunjangan
kesehatan-perempuan dianggap lajang sehingga suami dan anak-anak tidak
mendapatkan tunjangan sebagaimana yang diterima pekerja laki-laki. Ketentuan
ini termuat dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 7 tahun 1990 tentang
Upah, PP No. 37 tahun 1967 tentang Sistem Pengupahan di lingkungan perusahaan
negara, Peraturan Menteri Pertambangan No.2/P/M/1971, Peraturan Menteri
Pertanian No.K440/01/2/1984 dan No.01/GKKU/3/1978 dan SE Menaker No.4/1988
tentang tunjangan kesehatan, serta pasal 8 UU No.7/1983, pasal 4 Perturan
Menteri Keuangan No. 947/KMK/04/1983 dan pasal 8 UUNo. 10/1994 tentang prosedur
memperoleh NPWP. Kondisi Peraturan perundang-undangan tidak mampu mengkomodir
kepentingan perempuan dan laki-laki secara setara sebagaimana telah dijamin
oleh UUD, karena akses dan partisipasi perempuan dalam penyusunan undang-undang
sejak berdirinya negara ini sangat rendah, sehingga undang-undang tidak
berfihak pada kesetaraan dan keadilan gender. Perjuangan aktifis perempuan di
Indonesia telah membuahkan hasil sekalipun belum maksimal, yaitu UU
Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 dan UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Masih diperlukan Undang-undang
Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, Undang-undang Perlindungan Korban
dan Saksi yang terus diperjuangkan. Masih menjadi catatan penting bahwa
implementsi UU Perlindungan Anak dan UU PKDRT masih mengalami kendala.
Permasalahannya adalah political will dari pihak penegak hukum masih
belum sepenuhnya responsif gender.
Untuk konteks pembangunan, isu perempuan dan pembangunan
menjadi sangat penting karena selama ini perempuan pada umumnya termarjinalkan
dalam proses pembangunan dikarenakan secara absolut negara salah menempatkan
perempuan perempuan pada peran tradisional begitu juga aktifitas-aktifitas yang
dilakukan perempuan. Selain itu, negara juga secara relatif tidak
diperhitungkan dalam usaha-usaha pembangunan tidak menikmati hasil-hasilnya
sebagaimana yang didapat oleh laki-laki.8
Untuk program pembangunan di Indonesia saat ini
sedang berlangsung adalah menggunakan strategi PUG menyusul pergeseran
paradigma Women in Development (WID) dan Women and Development (WAD)
menuju Gender and Development (GAD). Perubahan paradigma ini diikuti
oleh dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan
Gender dalam program pembangunan nasional sampai daerah, namun setiap strategi
disamping memiliki kelebihan, juga memiliki kekurangan. Kebijakan pemerintah
untuk menggunakan acuan Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam program pembangunan
sejak Inpres ini dikeluarkan di tingkat implementasinya masih dipertanyakan.
Evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan tentang pelaksanaan
PUG di berbagai kebijakan pemerintah di tingkat nasional maupun daerah belum
menunjukan hasil sesuai dengan harapan. Kendala yang dihadapi justru berbentuk
kendala struktural di mana political will dari pemerintah sendiri tidak
responsif gender dan ditunjang pula oleh aparat yang belum sensitif gender.
G.
FEMINISME
Lahirnya gerakan feminisme merupakan awal kebangkitan
perempuan untuk menggeser status sebagai makhluk kedua setelah laki-laki di
dunia ini. Feminisme merupakan gerakan perjuangan para kaum hawa untuk
mendapatkan kesetaraan dan persamaan derajat dengan para laki-laki. Inti dari
gerakan feminisme adalah bagaimana cara meningkatkan status perempuan melalui
tema-tema seperti kesetaraan gender dan emansipasi wanita. Gerakan feminisme
sendiri memulai perkembangannya pada abad pertengahan Eropa. Kala itu gereja
menjadi sentral kekuasaan di Eropa dan mengeluarkan kebijakan-kebijakan hukum
yang mendiskriminasi sebagian besar masyarakat di Eropa. Perempuan sendiri
tidak luput dari diskriminasi yang dilakukan oleh gereja.
Status perempuan pada waktu itu sangat rendah. Mereka
dianggap sebagai makhluk kelas kedua yang kotor dan hanyalah pemuas nafsu para
lelaki. Bahkan menurut konsep Saint Paul yang dikeluarkan gereja, perempuan
merupakan makhluk inferior yang dianggap tidak berguna. Keadaan seperti ini
membuat berbagai filsuf Eropa memulai kritisinya terhadap kebijakan-kebijakan
gereja yang diskriminatif. Isu-isu kesetaraan pun mulai merebak dan menjadi
perdebatan di seluruh antero Eropa.
Satu hal yang tidak pernah disangka adalah ketika itu,
para perempuan juga secara diam-diam memulai gerakan-gerakan kecil untuk
menentang dominasi laki-laki. Namun tuntutan akan kesetaraan derajat antara
perempuan dan laki-laki baru bisa mereka wujudkan pada awal abad ke 17 di
Inggris. Tokoh-tokoh macam Susan B. Anthony dan Elizabeth Cady Staton
mempelopori gerakan-gerakan kebangkitan perempuan melalui surat kabar The
Revolution. Dalam surat kabar tersebut inilah mereka menuangkan pemikiran
mereka tentang masalah yang dihadapi oleh perempuan seperti perceraian,
prostitusi dan bagaimana gereja memperlakukan perempuan.
Saat itu perjuangan kaum perempuan disebut dengan womanism.
Pada tahun 1960 merupakan pergerakan selanjutnya dari perkembangan feminisme
dimana para perempuan mulai memasuki strata pendidikan dan mempelajari tentang
tata hukum. Pada kisaran tahun 1970, para perempuan ini memulai fokusnya pada
tata hukum keluarga dan penyelesaian kasus pemerkosaan, dan pada tahun 80-an
sampai dengan 90-an, para perempuan ini sudah mulai berani untuk menunjukkan
diri dengan bermain di kasta politik, kritik sastra, serta kritik filsafat dan
teori. Kata-kata feminisme sendiri pertama kali dipopulerkan oleh seorang
sosialis Prancis bernama Charles Fourier yang pada akhirnya banyak mempengaruhi
gerakan emansipasi wanita di seluruh dunia sampai saat ini.
Feminisme, dewasa ini, mengalami perkembangan yang
sangat cepat. Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana perempuan diperlakukan
saat ini. Fashion dan tren sangat melekat dengan para wanita. Pemujaan terhadap
kecantikan dan keindahan juga selalu identik dengan perempuan. Iklan-iklan
kosmetik, sabun, shampoo, aksesoris, dll. yang menghiasi layar kaca televisi
juga merupakan salah satu indikator semakin gencarnya emansipasi perempuan kearah
yang lebih baik.
Selain itu, ungkapan-ungkapan populer macam ladies
First juga merupakan bentuk nyata dari pergeseran status perempuan. Realita
lain yang menggeser status perempuan kearah sederajat dengan para lelaki
adalah, banyaknya perempuan yang saat ini bekerja dan berusaha untuk mandiri
atau sering kita sebut sebagai wanita karir. Bahkan tidak jarang kebanyakan
dari perempuan ini merupakan bos dan direktur di perusahaan tertentu. Di bidang
sosial politik, perempuan juga memunculkan tokoh-tokoh penting yang dijadikan
simbol kejayaan feminisme di dunia seperti Margareth Thatcher, Benazir Bhuto,
Gloria Maccapagal Aroyo, Hillary Clinton dan masih banyak lagi yang lain.
Di Indonesia sendiri gerakan feminisme sudah
berkembang sebelum kemerdekaan Indonesia melalui perjuangan R.A Kartini yang
mengusung tema emansipasi wanita. Perjuangan R.A Kartini secara tidak langsung
membuat banyak perempuan terinspirasi olehnya dan mulai memunculkan
gerakan-gerakan yang mengusung kesetaraan gender. Perjuangan perempuan di
Indonesia sendiri telah banyak menghasilkan perundang-undangan yang melindungi
mereka, diantaranya, UU No. 1 Tahun 1997 tentang perkawinan, UU No. 23 Tahun
2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, UU No. 10 Tahun 2008
tentang pemilu yang mensyaratkan partai memenuhi 20% caleg dari perempuan, dan
lain-lain. Indonesia sendiri pernah dipimpin oleh seorang presiden wanita yaitu
Megawati Soekarno Poetri.
Feminisme di Indonesia bukannya tanpa pro dan kontra.
Tidak sedikit kalangan yang menganggap bahwa gerakan feminisme tidak cocok di
Indonesia yang memiliki budaya timur yang patriarki dan fanatisme agama yang
kuat. Mereka menganggap feminisme akan mendoktrin mindset para perempuan
Indonesia yang pada akhirnya membuat mereka lupa akan tugasnya sebagai seorang
wanita.
H. FEMINISASI KEMISKINAN DALAM KULTUR PATRIARKI
Ada pandangan di kalangan ilmuwan sosial bahwa
kemiskinan sebenarnya tidak lahir dengan
sendirinya dan juga bukan muncul tanpa
sebab, tetapi kondisi ini banyak dipengaruhi oleh struktur sosial, ekonomi dan politik. Jon Sobrino
(1993) menelaah keberadaan orang miskin
sebagai rakyat yang tertindas dalam dua perspektif. Pertama;
pada tataran faktual, kemiskinan pada masyarakat yang sedang berkembang ternyata tidak hanya menyebabkan
penderitaan yang tak berkesudahan,
melainkan juga kematian manusia sebelum waktunya. Penindasan sistimatis dan
konflik bersenjata telah memperburuk situasi mereka yang tertindas. Kedua;
pada tataran historis-etis, penderitaan kaum miskin dan tertidas
itu disebabkan oleh
struktur-struktur yang tidak adil baik di tingkat lokal maupun global yang
lebih jauh telah menghasilkan 3kekerasan
yang melembaga (institutionalized violence) dan korbannya pertama-tama adalah
mereka yang miskin ( Cahyono, 2005; 9).
Pandangan di atas memperkuat asumsi
bahwa pada masyarakat yang budaya patriarkinya masih sangat kental seperti
halnya pada masyarakat Bali yang
menganut sistem kekerabatan
patrilineal, penanganan masalah
kemiskinan nampaknya memerlukan pendekatan tersendiri yang mungkin berbeda
dengan penanganan kemiskinan di daerah yang matrilineal. Pada masyarakat dengan
kondisi budaya yang sangat paternalistik,
mereka yang berada pada posisi yang tertindas dan lemah akan lebih banyak yang miskin. Mereka ini
adalah kaum perempuan, dimana
pada masyarakat patrilineal perempuan
menduduki posisi subordinat laki-laki, termarjinal dan terdiskriminasi.
Whitehead ( dikutip Cahyono dalam JP. 42 2005; 11) telah mendata bahwa lebih dari separo penduduk niskin di negara
berkembang adalah kaum perempuan. Data dari perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) menunjukkan bahwa dari 1,3 miliar warga dunia yang masuk katagori miskin,
70% nya adalah kaum perempuan Hal ini menguatkan terjadinya feminisasi kemiskinan yakni
sebuah kenyataan bahwa sebagian besar angka kemiskinan dialami oleh kaum perempuan.
Kondisi yang tidak jauh berbeda kemungkinan juga terjadi
di masyarakat Bali, namun sampai saat ini data
pasti mengenai kemiskinan menurut jenis kelamin belum dapat diperoleh, karena pendataan
kemiskinan hanya dilakukan berdasarkan
unit rumah tangga (RTM). Dari
821.313 kepala keluarga (KK) penduduk
Bali (sampai Mei 2006), sebanyak 147.044 KK (17,9%) diantaranya 4masih tergolong KK miskin, jumlah ini tersebar di 9 Kabupaten/ Kota seperti tampak pada
Tabel 1.1. (BPS, 2006). Dari
jumlah RTM ini, sebagian besar kondisi miskin akan lebih dirasakan oleh kaum
perempuan trerutama perempuan ibu rumah
tangga karena kalau dilihat dari komposisi penduduk Bali tahun 2006, sebagian
besar penduduk umur 19 tahun ke
atas adalah kaum perempuan. Mereka ini
sebagian besar adalah ibu rumah tangga
dan juga lansia. Disamping itu dalam
kehidupan rumah tangga, perempuan/ ibu rumah tangga secara budaya
diberikan peran dan tanggung jawab
pada urusan domestik. Ini artinya
bahwa mereka menanggung beban untuk mengurus kepentingan
konsumsi keluarga sehari-hari. Dalam
kondisi ekonomi keluarga yang serba
kurang, maka perempuanlah yang paling merasakannya.
Kemiskinan
yang dialami perempuan seperti tersebut di atas baru
kemiskinan kalau dilihat dari satu sudut
pandang kemiskinan karena alasan ekonomi. Ari
Ujianto ( dikutip Amirudin dan
Lita Purnama dalam JP.42.2005)
menyebutkan bahwa kemiskinan yang dialami oleh masyarakat Indonesia
adalah kemiskinan majemuk dalam arti kemiskinan sandang pangan, tetapi
juga kemiskinan identitas,
informasi, akses, partisipasi dan
kontrol. Oleh karena itu menurutnya,
sebagian besar perempuan Indonesia
adalah miskin karena tidak hanya secara ekonomi mereka terkebelakang
tetapi juga dalam hal keterbatasan akses
terhadap informasi, pendidikan, politik, kesehatan dan lain-lain, partisipasi
merekapun kurang diberi tempat. Hal ini
yang pada gikirannya memunculkan feminisasi kemiskinan di masyarakat Indonesia pada umumnya dan di Bali khususnya.
Sumber dari permasalahan kemiskinan
yang dihadapi oleh perempuan
menurut Muhadjir ( 2005, 166) terletak
pada budaya patriarki yaitu nilai-nilai yang hidup dimasyarakat yang
memposisikan laki-laki sebagai superior dan perempuan subordinat. Budaya patriarki seperti ini tercermin dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan menjadi sumber
pembenaran terhadap sistem distribusi
kewenangan, sistem pengambilan keputusan, sistem pembagian kerja, sistem
kepemilikan dan sitem distribusi
resoursis yang bias gender. Kultur yang
demikian ini akhirnya akan bermuara pada terjadinya perlakuan diskriminasi, marjinalisasi, ekploitasi maupun kekerasan terhadap
perempuan. Pada masyarakat Bali yang senyatanya menganut sistem kekerabatan
patrilineal, budaya patriarkinya masih sangat kental. Pada sistem kekerabatan
seperti ini nilai anak laki-laki lebih
tinggi dari pada anak perempuan. Anak .laki-laki yang karena kedudukannya
selaku pemikul dharma serta sebagai
pewaris dan penerus keturunan (purusa) dalam keluarga, maka mereka akan merasa
lebih superior dan berkuasa. sementara
perempuan ada pada posisi inperior. Hal ini pada akhirnya akan membatasi akses
perempuan terhadap berbagai sumberdaya.
Pada dasarnya ada faktor struktural yang menyebabkan individu
dalam keluarga dan masyarakat tidak
mempunyai akses yang sama untuk merealisasikan hak-haknya sebagai
anggota keluarga, anggota masyarakat maupun sebagai warga negara. Salah satu hambatan struktural tersebut
adalah adanya relasi gender (gender relation) yang tidak adil dan setara sebagai akibat dari budaya yang sangat paternalistik. Pada masyarakat Bali kondisi
seperti ini nampak dengan jelas
karena sampai saat ini keterbatasan akses perempuan terhadap
pendidikan, ekonomi, dan lain-lain masih cukup menonjol.
Kemiskinan perempuan di bidang pendidikan
misalnya dapat dilihat dari tingkat pendidikan penduduk Bali dimana pendidikan perempuan masih jauh
lebih rendah dari pada tingkat pendidikan laki-laki. Hal ini terlihat pada beberapa indikator
pendidikan yang secara nyata masih menunjukkan kesenjangan gender yang sangat
menonjol seperti angka buta huruf,
APK,APM dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan penduduk.
Pada tahun 2005, angka buta huruf penduduk perempuan mencapai 5,47% sedangkan laki-laki hanya 1,62%.
Demikian juga pada indikator pendidikan
tertinggi yang ditamatkan penduduk. semakin tinggi tingkat pendidikan,
maka semakin sedikit perempuan yang tamat, seperti contohnya penduduk yang
tamat sarjana (S1) perbandingan antara laki-laki dan perempuan 6,7% : 4,9%.
Hal ini dipicu oleh oleh beberapa
faktor antara lain: adanya anggapan
bahwa perempuan tuidak perlu sekolah
tinggi-tinggi karena pada akhirnya akan ke
dapur; perempuan tidak
dianggap investasi keluarga karena
setelah menikah akan menjadi milik orang
lain (suaminya).
Kondisi yang demikian ini menggambarkan bahwa terjadi feminisasi
kemiskinan di bidang pendidikan. Miskin
pendidikan akan berpengaruh terhadap kemiskinan pada aspek yang lainnya, seperti pada akses terhadap pekerjaan, politik dan pengambilan keputusan.
Perempuan yang tidak mempunyai sumberdaya pribadi berupa pendidikan dengan sendirinya akan sangat sulit untuk
mengakses pekerjaan terutama di sektor
formal yang relatif berubah
tinggi. Wilayah pekerjaan mereka
biasanya terbatas pada sektor informal yang berupah rendah seperti buruh
kasar atau pembantu rumah tangga.
Terbatasnya akses perempuan Bali
khususnya terhadap kesempatan kerja
dapat dilihat dari
persentase tngkat partisipasi
angkatan kerja (TPAK) yang masih relatif
lebih rendah dibandingkan dengan TPAK
laki-laki. Tingkat partisipasi angkatan
kerja perempuan tahun 2005 mencapai
66,8%, sementara laki-laki 77,7%. (BPS,
2006; 65). Data ini menggambarkan bahwa cukup
banyak perempuan usia kerja yang
tidak mempunyai pekerjaan produktif, dan ini berarti bahwa mereka secara ekonomis tidak mempunyai
penghasilan yang bisa disumbangkan untuk kebutuhan
keluarganya. Kondisi rumah tangga yang
demikian ini biasanya rentan terhadap kemiskinan secara ekonomis. Selain hal tersebut di atas, struktur budaya
patriarkhi juga melahirkan keterbatasan perempuan dalam hal pengambilan
keputusan baik di dalam keluarga maupun di masyarakat. Dalam keluarga, pengambilan keputusan didominasi oleh kaum
laki-laki, demikian juga di lingkungan masyarakat yang lebih luas. Di ranah publik, eksistensi perempuan juga kurang diperhitungkan, terbukti dengan minimnya
jumlah perempuan yang
menduduki posisi jabatan
struktural baik di legislatif, eksekutif
maupun yudikatif yang nota bene juga
berperan sebagai pengambil keputusan. Di legislatif
(DPRD Bali) hanya ada 4 perempuan
dari 59 orang anggota dewan (6,8%), sedangkan
yang menduduki jabatan struktural khususnya di Pemda Bali masing-masing eselon II. 6,8%, eselon III.
17,5% dan eselon IV. 28,2%. Jumlah perempuan penegak hukum seperti polisi hanya 4,1%, jaksa 36,1% dan hakim 25,6% (
Arjani, 2006).
Berbagai alasan dapat memicu feminisasi kemiskinan yang terjadi di
masyarakat, antara lain: tertanamnya ideologi gender yang membakukan peran perempuan pada sektor domestik dan
laki-laki di ranah publik. Hal inilah yang
membawa dampak luas bagi keterbelakangan perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar